Sabtu, 29 Januari 2011

makalah : ETIKA BIROKRASI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.            Latar Belakang
Dalam membahas Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tanggapan kesusilaan atau etis, yaitu sama halnya dengan berbicara moral (mores). Manusia disebut etis, ialah manusia secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya dalam rangka asas keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya, antara rohani dengan jasmaninya, dan antara sebagai makhluk berdiri sendiri dengan penciptanya. Termasuk di dalamnya membahas nilai­-nilai atau norma-norma yang dikaitkan dengan etika, terdapat dua macam etika sebagai berikut:
1.      Etika Deskriptif
Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya Etika deskriptif tersebut berbicara mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya. Da-pat disimpulkan bahwa tentang kenyataan dalam penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tertentu memungkinkan manusia dapat bertin­dak secara etis.
2.        Etika Normatif
Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi Etika Normatif merupakan norma-norma yang da­pat menuntun agar manusia bertindak secara baik dan meng­hindarkan hal-hal yang buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat.

                                                                         BAB II
PEMBAHASAN

2.1.        Birokrasi Dalam Pelayanan Publik
Manusia modern, menghabiskan hidupnya dalam organisasi. Organisasi menjadi pemimpin yang tanpa disadari menjadi lingkungan yang selama ini kita huni. Sangat tidak mengherankan jika manusia kemudian disebut dalam (Presthus,1962) sebagai Organizational Society. Dalam konteks kenegaraan, kehidupan pengorganisasian masyarakat dalam wilayah negara, pengorganisasiannya disebut birokrasi pemerintahan. Dalam era demokratisasi, dilema dalam hubungan antara penjabaran nilai-nilai demokrasi dan realitas manajemen organisasi birokrasi di masyarakat menjadi hal yangpelik, rumit serta problematik. Realitas sosial masyarakat yang dilahirkan serba tidak teratur dan transisi, yang terdiri dari berbagai kelompok-kelompok majemuk, tampil dengan topeng liberal demokrasi yang menuntut lahirnya sebuah citra perfect dari birokrasi yang berwujud demokratis dalam perspektifnya (kebutuhannya, baca). Mentalitas state apparatus Indonesia, yang belum menampakkan kongkretisasiperwujudan nilai-nilai demokrasi sistem pemerintahan yang menjunjung nilai-nilai kesejajaran yang digerakkan visi dan misi, belum menunjukkan tanda-tanda perwujudan aksinya. Kesulitan menerjemahkan kerangka baru (aturan) dalam aktivitasnya, karena rule driven penggeraknya belum berubah secara total. Kenyataan ini melahirkan keraguraguan dalam pengimplementasiannya. Fenomena ini yang dialami aparat pemerintah dalam menjalankan tugasnya saat ini, disamping sangat rendahnya motivasi, kemauan kerja serta inisiatip aparat birokrasi, karena berbagai keterbatasan yang dimilikinya. Mencermati berbagai fenomena yang belakangan ini muncul di kota Palu tentang problematika pelayanan publik (KTP,KK dll) yang mengalami gugatan dari komunitas masyarakat yang sempat hangat dimedia daerah, merupakan fenomena umum yang terjadi di Indonesia. Kondisi tersebut, seperti yang ditunjukkan oleh hasil survey dari PSKK UGM 2001, bahwa umumnya pelayanan pulik di Indonesia adalah masih buruk.Tetapi dengan melihat angka distribusi prosentase kegiatan ekonomi di daerah ini (Palu) yang didominasi kegiatan Jasa. Semestinya menjadi pertanda bahwa masyarakat telah terbiasa memahami esensi sebuah pelayanan, baik dari kegiatan jasa atau jenis lain seperti perdagangan. Sehingga sangat naïf bagi pemerintah untuk tidak melihat potensi ini, yang mestinya dijadikan kekuatan bagi pemerintah yang mesti dikembangkan, mengingat bahwa keterkaitan antara berbagai Stoke Holder dalam menciptakan pembangunan yang sinergis didaerah ini, menuntut keterlibatan berbagai komponen yaitu Birokrasi, Civil Society Dan Privat Sector. Survey Pelayanan Publik Tahun 2001 pada 3 (tiga) tempat sebagai sample wilayah Indonesia yaitu Sul-Sel, Sumbar dan Yogyakarta oleh PSKK UGM (Pusat Studi Kependudukan Dan Kebijakan), terlihat 59% responden penggunan jasa pelayanan public menyatakan kinerja pelayanan publik adalah buruk. Kesimpulan dari penelitian tersebut mengatakan bahwa hal itu terjadi karena pelayanan publik masih dilaksanakan dan digerakkan oleh peraturan (rule driven) serta anggaran, dan bukan oleh misi. Konsep baru saat ini, merupakan bentuk modernizing birokrasi yang mestinya telah dikembangkan di Indonesia mengingat telah besarnya anggaran pelatihan, seminar, kursus, diklat untuk upaya peningkatan kinerja pelayanan publik yang berorientasi kepada kepuasan masyarakat diseluruh Indonesia, dari pusat hingga pelosok desa. Tetapi mengapa belum berubah, yang mengalami perubahan adalah wajah teknis administratip yang kian rumit, sementara perilaku birokrasi sebagai driven utama tidak perubahan. Paternalisme birokrasi, kondisi dimana bawahan selalu takut melampaui wewenang pimpinan atau atasannya. Sehingga tidak berbeda dengan perilaku birokrasi orde baru, dimana bawahan tergantung kepada pimpinan. Kondisi itu, tidak melahirkan diskresi dalam birokrasi yaitu kebebasan menerjemahkan situasi yang dihadapi tiap aparat sesuatu profesi dan tugasnya dalam mengambil keputusan sendiri dan tidak bersandar pada juklak dan juknis yang kaku. Adanya ketergantungan, menyebabkan tidak jalannya mekanisme sistem pelayanan publik sebagai salah satu tugas aparat pemerintah sehingga menciptakan inefisiensi birokrasi dalam merespons kebutuhan pengguna jasa. Mengapa masyarakat tidak melakukan sebuah Komplain atau counter attack atas fenomena yang merugikan ini. Inefisiensi birokrasi merupakan penyakit birokrasi yang sulit diselesaikan. Penyebab sulitnya melaksanakan fungsi pelayanan dan pengembangan daerah karena beberapa hal;
1. Pertumbuhan penduduk,
2. Inflasi,
 3. Meningkatnya harapan akan kualitas pelayanan,
 4. Sumber pendapatan daerah yang tidak memadai rentangnya dengan kebutuhan,
5. Secara ril nilai pendapatan semakin turun,
6. Kuatnya kontrol pusat terhadap upaya mencari sumber-sumber pendapatan lain,
 7. Ketidak seimbangan antara fungsi pemerintah daerah dan sumber dana.
Dari 7 (tujuh) hal diatas pada prinsipnya hanya satu, yaitu keterbatasan dana daerah dalam memenuhi ekspektasi masyarakat dalam pelayanan publik. Sebenarnya terdapat alternative yang dapat dipilih untuk mewujudkan upaya menutupi keterbatasan diatas dengan:
1. Menghapuskan pengeluaran yang tidak urgen,
 2. Mencari alternative biaya efektive dalam pelayanan jasa,
 3. Memprivatisasi unit kegiatan tertentu,
4. Menjual aktiva yang berlebihan,
5. Mengefektifkan retribusi dan pendapatan dari pajak dar kebocoran,
6. Menaikkan tarif pajak,
 7. Menggalang partisipasi masyarakat,
8. Mengidentifikasi jenis pajak baru,
 9. Bagi hasil pajak,
10. Pinjaman dari pihak ketiga bagi usaha-usaha daerah yang produktive secara professional. Selain inefisiensi diatas, banyak kegiatan pemerintah bukan didorong untuk menciptakan program produktif untuk mendukung sistem pemerintahan mandiri dalam keuangan, dimana dalam konsep reinventing government yang dijadikan sebagai pola umum acuan kehidupan otonomi daerah dalam menciptakan pelayanan publik yang baik (good governance) tidak diimplementasikan. Akibatnya tercipta inefisiensi anggaran, penyebabnya karena daerah dibebani biaya non-produktif dari program ideologis masa lalu ataupun baru sebagai refleksi penciptaan identitas diri daerah. Kebijakan investasi, lebih sebagai simbolisasi ‘penanda’ daerah dalam lokus status atau gengsi. Bahkan birokrasi menciptakan unit usaha yang menjadi competitor masyarakat yang memiliki modal terbatas. Untuk mengeksiskan pengakuan suatu daerah seperti wilayah pesisir, yang dikembangkan secara “instan” adalah, aspek terkait laut seperti perikanan dll tanpa perhitungan aspek keberlanjutan baik secara ekonomi, sosial, SDM, manajemen dll. Kebijakan ini masih dipertahankan dan diciptakan, karena pola latah birokrasi di Indonesia. Kegiatan pelayanan publik mestinya sesuai dengan Local Good Governance Index (LGGI) yang digunakan saat ini dalam pengukuran kinerja sistem pemerintahan daerah sebagai wujud efektifitas dan efisiensi, terutama untuk anggaran daerah yang akuntabel. Masyarakat mendapat respons Advokasi nilai atas pelayanan yang diterimanya dari kelompok-kelompok intelektual yang dipengaruhi lingkungan pendidikan, NGO, civil society yang menjadi agent demokrasi liberal dalam masyarakat. Dilema yang ditimbulkan adalah keinginan mengimplementasikan paradigma pelayanan secara total atas masyarakat sesuai tuntutan demokratisasi. Sementara birokrasi diperhadapkan kepada keterbatasan supra dan infra struktur seperti yang digambarkan diatas. Keadaan ini melahirkan budaya transisi dari birokrasi Indonesia. Birokrasi kekinian (Warsito Utomo,1996) mestinya bertumpu pada ACE (Alignment, Creativity And Empowerment) sehingga komponen dalam struktur dan system birokrasi serta masyarakatpun harus berubah, tidak lagi mengedepankan kepada egosentrisme lokalistik yang didasarkan pada arogansi baik dari tataran sosial maupun material. Yaitu masih kentalnya masyarakat Indonesia utamanya kalangan tertentu, yang terbiasa dengan kemudahan sehingga melupakan aspek komunitarian yang menjadi tangung jawab penengelolaan organisasi pelayanan publik. Penting diketahui bahwa prinsip pengelolaan manajemen pelayanan demokratis oleh Giddens dalam Third Way dikatakan “tidak ada hak tanpa kewajiban”. Untuk itu dibutuhkan sebuah tataran teoritik yang diharapkan dapat menghasilkan kesadaran 5 F yaitu fast, focus, flexible, friendly and fund. Pada kondisi learning organization seperti inilah birokrasi merupakan sebuah institusi yang memberdayakan masyarakat. 1 Staf Pengajar Pada Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP UNTAD

2.2.       Etika Pertanggungjawaban, Moralitas dan Spriritualitas
Kita mungkin seringkali mendengar, atau bahkan menggunakan, istilah tanggungjawab". Akan tetapi apakah ia sesungguhnya di benak kita? Adakah ia kita pandang sebagai sesuatu yang menyertai pelaksanaan suatu tindakan atau perbuatan, penunaian suatu kewajiban, suatu tugas, padamana ia memang umumnyadikaitkan?
Di dalam kata bentukan itu sebetulnya juga terkandung "beban". Ketika kita mengerjakan sesuatu, maka "beban" tanggungjawab atas baik-buruk, benar-salah dari apa yang kita kerjakan itu ada di pundak kita. Kalaupun dalam suatu kerja-kelompok ada sosok figur "penanggungjawab", maka ia hanya bertanggungjawab secara umum saja. Pelaksanaan dari bidang kerja yang menjadi tugas masing-masing personil dari kelompok kerja itu, tetap menjadi tangggungjawab masing-masing, yang harus ia pertangungjawabkan lagi kepada si penanggungjawab tadi. Apa yang hendak saya katakan disini adalah, apapun yang kita kerjakan adalah tangungjawab kita. Sebagai manusia dewasa, orang yang bertangungjawab, tidaklah pantas kita lari dari tanggungjawab serupa itu.
Dalam Hukum Karma, Hukum Kausalitas Universal, apa yang kita perbuat merupakan sebab yang akan berakibat atau merupakan aksi yang mengundang hadirnya reaksi. Ketika sebab telah diciptakan, maka si pencipta sebab seharusnya bertanggungjawab atas akibat yang mengikutinya. Inilah kunci keterkaitan langsung antara Hukum Sebab-Akibat dengan pertanggungjawaban itu. Selama sebuah perbuatan masih disertai oleh si pelaku perbuatan, maka selama itu pula hasil perbuatan harus ada yang menanggungnya. Sebagai si pelaku, seseorang tidak pernah bisa lepas dari hasil dari kelakuannya. Si pelaku inilah yang, mau tak mau, harus bertanggungjawab atas setiap perbuatannya.

2.3.            Tanggungjawab dan Kemanusiaan
Ketika kita mengakui keberadaan kita sebagai manusia, kitapun seharusnya menyadari tanggungjawab kemanusiaan, tanggungjawab kepada manusia, yang melekat padanya. Belumlah pantas bila kita mengaku sebagai manusia, namun masih berprilaku layaknya binatang yang tak beradab. Pengakuan, pengklaiman selalu harus disertai kelayakan. Anda tidak akan mengklaim sesuatu yang tidak atau belum layak untuk Anda. Anda hanya layak mengklaim diri sebagai manusia dan minta diperlakukan layaknya manusia, bilamana Anda memang benar-benar menunjukkan diri sebagai beradab layaknya manusia. Sementara kebiadaban identik dengan kebinatangan, maka keberadaban identik dengan kemanusiaan. Sebagai manusia, kita punya "tanggungjawab-moril" untuk menganut faham kemanusiaan dan berprilaku, berpola ucap, berpola pikir layaknya manusia. Tanggungjawab-moril ini melekat dengan keberadaan kita sebagai manusia. Ada yang mempersamakan "tanggungjawab-moril" dengan "beban-moril". Akan tetapi, ketika kita menyadari semua ini, ketika kita menyadari tanggungjawab-moril kita, apakah untuk bertindak manusiawi merupakan suatu beban bagi kita?
Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah ha-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak ? Peter Singer, filusf kontemporer dari Australia menilai kata etika dan moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya secara tertukar-tukar. Berbicara mengenai manusia dan etika, kita mengetahui bahwa di lingkungan kita terdapat bermacam-macam karakter orang yang berbeda-beda. Dalam konteks keamanan, orang-orang yang membuat kekacauan di tempat yang tidak berhubungan dengan mereka disebut intruder. Ada dua macam intruder, yaitu:
  1. Passive intruder, intruder yang hanya ingin membaca berkas yang tidak boleh mereka baca.
  2. Active intruder, Lebih berbahaya dari passive intruder. Mereka ingin membuat perubahan yang tidak diizinkan (unauthorized) pada data.
Ketika merancang sebuah sistem yang aman terhadap intruder, penting untuk mengetahui sistem tersebut akan dilindungi dari intruder macam apa. Empat contoh kategori:
1. Keingintahuan seseorang tentang hal-hal pribadi orang lain.
2. Penyusupan oleh orang-orang dalam.
3. Keinginan untuk mendapatkan uang.
4. Espionase komersial atau militer.
Menurut pendapat saya pribadi etika dan moral adalah suatu peraturan tak tertulis yang menunjukan martabat kita sebagai manusia. Dan jika ada orang yang melanggarnya mungkin hanya sebuah rasa penasaran yang membuat mereka melanggarnya atau hanyalah sebuah rasa iseng, tetapi ada juga yang mendapat uang jika melanggarnya karena mereka mempunyai hidup yang sulit dan hanya itu satu-satunya jalan untuk menyambung hidup karena itu kita haruslah berpikiran terbuka dalam menghadapi masalah ini, sebab semua orang mempunyai alasan-alasannya masing-masing. Etika atau filsafat moral merupakan bagian teoritis dari filsafat. Filsafat (baca: etika) teoritis ini membicarakan atau menyoal akar keberadaan sesuatu. Dalam pada itu, apa yang dimaksud dengan filsafat moral atau sebut saja etika, sejatinya merupakan suatu bidang keilmuan yang bersifat khusus sebagaimana yang disebut Magnis sebagai “einzelwissen schaften” (Suseno,2003: 10) dimana topik pembahasannya adalah tema- tema seputar hal-hal atau ideal- ideal yang normatif. Berkenaan dengan itu, apa yang dimaksud dengan etika politik merupakan suatu bagian ilmu politik yang bersifat khusus dan memiliki kekhasannya sendiri sebagaimana ilmu-ilmu selainnya. Apa yang dimaksud dengan etika politik ialah suatu disiplin ilmu yang bersifat teoritis dan juga normatif. Saya katakana demikian sebab memang dalam kapasitasnya sebagai ilmu teoritis, etika politik hanya bermain pada bidang- bidang yang menyoal hal-ha yang berkenaan dengan politik dalam bingkai normativisme etika.Karakter demikian itu merupakan bagian inheren dan juga immanen dalam diri etika politik sebab memang ia berada dalam ranah normativisme etika yang berbicara dalam kerangka layak dan atau tidak layak, bukan dalam bingkai benar dan atau salah. Artinya bahwa sebagai cabang ilmu pengetahuan, etika politik membahas tentang apa yang seharusnya, apa yang layak, dan apa yang semestinya dilakukan berkenaan dengan dunia politik. Diantara pembahasan pokok yang diangkat ialah perrihal otoritas. Dalam etika politik ,otoritas dimaknai sebagai suatu kewenangan yang terlembaga. Selain itu etika poitik juga mengangkat pembahasan perihal asal muasal kedatangan otoritas tersebut.
Dalam hal ini, kita mengenal istilah legitimasi kekuasaan, yang dimaksud adalah pembahasan seputar dari mana datangnya hak kuasa satu phak atas pihak lain dan apa alasan yang melatari sehingga lahir pengakuan terhadap kekuasaan tersebut. Dalam kajian etika politik, terdapat beragam tipologi legitimasi kekuasaan. Ada legitimasi religius kekuasaan, yakni suatu konsep tentang penerimaan kekuasaan satu pihak terhadap pihak lain atas dasar doktrin religiusitas yang bersifat devine. Magnis meliat bahwa kelemahan dari teori ini adalah rawannya terjadi ”kebocoran” dengan mengklaim bahwa apapun yang dilakukan penguasa merupakan ”mandat langit” sehingga ketika terjadi kesalahan pun sang penguasa tidak berkewajiban menyerahkan pertanggungjawaban (Suseno,2003:48). Menurut saya, ini sangat merugikan bagi pihak yang berada dibawah kekuasaan sebab apapun yang dilakukan penguasa adalah suatu hal yang tak boleh dipertanyakan pertanggungjawabannya, sehingga rawan terjadi malpraktik kekuasaan. Otoritas berubah menjadi otoritarianisme atas nama mandat langit dimana penguasa mengklaim dirinya sebagai zilalillah fil ardh (bayang-bayang Tuhan di bumi). Pada kesempatan ini saya akan mengetengahkan pandangan Ibn Taymiyyah berkenaan dengan tema etika politik yang mengerucut pada pembahasan seputar legitimasi kekuasaan dalam panadangan Ibn Taymiyyah yang juga merupakan konsep pemikiran politik beliau tentang dasar pendirian suatu negara.
2.4.       Pemikiran politik
Dalam peta pemikiran Islam, Ibn Taymiyyah adalah tokoh pemikir yang digolongkan kedalam kategori fundamentalis. Dalam hal pemikiran keagamaan, pola pemikiran beliau yang bercorak rigid dalam menafsirkan ajaran agama yang tertuang dalam teks-teks suci menunjukkan bahwa beliau ialah tokoh yang merupakan representasi kalangan fundamentalis literal (Isfunlit, meminjam istilah Haidar Bagir) atau skripturalis. Kategorisasi ini benar ketika kita berbicara pemikiran Ibn Taymiyyah dalam hal-hal yang berkenaan dengan doktrin keagamaan semisal fiqh, aqidah, dan lain sebagainya. Namun lain halnya ketika kita berbicara pemikiran beliau dalam domain sosial politik. Dalam ranah kajian ini, beliau tampak sangat ”sekuler”. Namun uniknya sekularitas Ibn Taymiyyah ini justeru lahir dari rahim fundamentalisme literal yang dianutnya, bukan dari liberalisme.Artinya bahwa pandangan Ibn Taymiyyah dalam bidang politik yang tampak bercorak sekuler tersebut lahir dari pemahaman beliau terhadap teks suci yang beliau taafsirkan secara rigid. Dimana letak sekularitas Ibn Taymiyyah? Dalam hal pendirian negara, berbeda dengan pandangan fundamentalis lainnya, Ibn Taymiyyah beranggapan bahwa tidak perlu didirikan negara Islam. Artinya kalau toh pada gilirannya ada sebuah negara Islam yang berdiri, maka itu merupakan buah dinamika sosial politik yang menghendaki negara tersebut berdiri, bukan merupakan hasil dogma agama. Sebab dalam kacamata Ibn Taymiyyah, tidak ada satu nash pun yang menyuruh mendirikan negara Islam (lihat.Khan,2001:69). Dalam karyanya, Qamaruddin Khan menukil adanya anggapan bahwa terdapat kemiripan antara konsep Ibn Taymiyyah dengan paham politik kaum Khawarij yang cenderung pada paham anarkisme(tanpa negara).

2.5.       Legitimasi Kekuasaan
Di awal pembahasan telah kita singgung sedikit tentang legitimasi kekuasaan. Kekuasaan dapat diartikan sebagai suatu kemampuan unuk mempengaruhi dan menerapkan apa yang kita inginkan atas pihak lain. Sedangkan legitimasi merupakan suatu pembenaran atau alas an penerimaan, dalam hal ini legitimasi kekuasaan dapat diartikan sebagai suatu alasan atau pembenaran penerimaan suatu pihak yang dikuasai atas kekuasaan pihak penguasa sehingga dalam relasinya kekuasaan tersebut legitimate. Bentuk dari legitimasi kekuasaan ini beragam, sebagaimana telah saya singgung di awal bahwa sedikitnya terdapat dua basis utama legitimasi kekuasaan yakni legitimasi religius dan legitimasi etis yang terbagi lagi kedalam bentuk yang lebih spesifik semisal legitimasi moral etis, legitimasi tradisional, rasional legal, dan lain sebagainya.
Konsep legitimasi religius kekuasaan sebagaimana para fundamentalis lain, dalam pandangan kalangan fundamentalis, penguasa kerap diposisikan sebagai wakil Tuhan di bumi. Ini berarti bahwa kekuasaannya merupakan representasi Ilahiyah yang mengemban tugas- tugas langit. Dalam kapasitas ini, penguasa tidak bisa dibantah, sehingga besar kemungkinan terjadi pembelokan otoritas dari kekuasaan yang suci menjadi otoritarianisme penguasa despotik yang selalu mengatasnamakan Tuhan dalam setiap kebijakannya. Dalam posisi ini, rakyat tidak punya posisi tawar untuk mempertanyakan pertanggungjawaban atas kekuasaan tersebut. Ini disebabkan karena memang konsep legitimasi model religius tersebut tidak mengharuskan adanya pertanggung jawaban penguasa atas rakyatnya.
Mengenai hal yang berkenaan dengan legitimasi ini, pandangan  bahwa dasar legitimasi kekuasaan dalam suatu pemerintahan atau negara bukanlah doktrin religiusitas. Sebab dalam legitimasi tersebut timbul dari bawah (bottom up). Kesadaran dan pengakuan ini timbul disebabkan oleh faktor sosial, yakni rakyat merasakan dampak positif dari kekuasaan tersebut dalam bentuk keadaan kehidupan sosial rakyat yang diuntungkan. Singkatnya, semakin rakyat merasa disejahterakan, maka semakin mereka tidak berkeberatan untuk mengakui kekuasaan tersebut menunjukkan bahwa tanggung jawab sosial harus ada dan karenanya pemikirannya lebih cenderung pada legitimasi etis moral kekuasaan yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat.

2.6.       Birokrasi
Kata orang sih, Birokrasi itu suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah daripada tingkat atas. Biasanya birokrasi itu ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer. Nah, organisasi yang dimaksud disini memiliki aturan dan prosedur ketat sehingga cenderung kurang fleksibel. Ciri lainnya terdapat banyak formulir yang harus dilengkapi dan pendelegasian wewenang harus dilakukan sesuai dengan hirarki kekuasaan. Birokrasi merupakan suatu tipe atau model organisasi yang sangat menekankan pada rasionalitas, ketertiban dan efisiensi. Makanya model kayak gini ini, dianggap tepat untuk organisasi besar kayak pemerintahan. Birokrasi pun jadi identik dengan pemerintah. Atau pemerintah yang jadi identik dengan birokrasi .


                                         BAB III
                                       PENUTUP

3.1.   Kesimpulan
Kalau Pelayanan Publik, diartikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang maupun jasa yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah (baik pusat, daerah, BUMN maupun BUMD) dalam upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
           Pelayanan Publik ini merupakan salah satu fungsi pokok pemerintahan selain fungsi pengaturan. Fungsi pelayanan publik ini mengacu pada konsep Negara kesejahteraan, bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, wujudnya berupa pelayanan kepada seluruh masyarakat dalam semua lapisan. Oleh sebab itulah, birokrasi menyelenggarakan pelayanan umum., dan PNS dikenal sebagai pelayan (abdi) masyarakat.
Etika pelayanan publik berkaitan dengan prinsip-prinsip moral dalam menjalankan tanggung jawab peran aparatur birokrasi pemerintahan dalam menyelenggarakan pelayanan bagi kepentingan publik. Yang jadi fokus utamanya adalah apakah aparatur pelayanan publik, pegawai negeri atau birokrasi mengambil keputusan dan berperilaku yang dapat dibenarkan dari sudut pandang etika. Fokus ini akan bermuara pada tujuan untuk mewujudkan integritas dalam pelayanan publik. beberapa hal yang jadi alasan tentang relevansi dan pentingnya etika dalam birokrasi pelayanan publik ;
a.       Etika dalam kehidupan yang baik : pelayanan publik adalah kehidupan yang penting bagi masyarakat, jadi sudah selayaknya jika dimensi etika dimasukkan dalam pertimbangan dan keputusan dalam birokrasi pelayanan public
b.      kekuasaan birokrasi : Birokrasi berwenang membuat sekaligus melaksanakan kebijakan publik dan etika diperlukan sebagai panduan dalam mengambil keputusan sekaligus menilai baik tidaknya keputusan tersebut.
c.       Kewibawaan pemerintah : kebersihan dan kewibawaan ini pada dasarnya hanya dapat diperoleh jika birokrasi bebas dari perilaku negatif dan tercela.
d.      Hak dan kepatuhan warga Negara : Setiap warga Negara memang berhak atas pelayanan, tapi warga Negara yang baik harus patuh pada aturan.
e.       Reformasi penyelenggaraan pemerintah : Pegawai Negeri dituntut untuk memberikan pelayanan terbaik kepada publik, makanya pemerintah harus melakukan reformasi di bidang penyelenggaraan administrasinya karena berbagai alasan. Baik arus globalisasi, buruknya pelayanan publik, kemajuan teknologi ataupun demokratisasi.










PENGARUH PENGEMBANGAN SUMBERDAYA APARATUR TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH PADA KANTOR DPRD PROVINSI SULAWESI TENGGARA

proBAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang Penelitian 
Kinerja aparatur pemerintah daerah, memang terlihat jauh lebih baik jika dibandingkan dengan keadaan pada dua atau tiga dekade yang lampau. Namun dikalangan pemerintah, utamanya pemerintah daerah, masih terlihat birokrat-birokratnya yang masih bersifat formaistik, bahkan ritualistik. Prosedure pelayanan public yang berbelit-belit dan kadang-kadang menjengkelkan public masih belum lenyap  atau berkurang. Ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan aparatur pemerintah seperti yang dilansir oleh Tjokroamidjojo (1995: 155) dan beberapa  media massa lainnya mengidentifikasikan kekurang mampuan dan kelemahan aparatur dalam melaksanakan tugasnya. Dengan kata lain, konidisi yang demikian ini disebabkan oleh administratif incapacity (Bryant and White, 1982:35). Kesemuanya itu pada hakekatnya menunjukkan gejala rendahnya tingkat kemampuan administratif para aparat.
Rendahnya kinerja birokrasi disebabkan oleh beberapa sebab seperti:
1.      Simpang siurnya perundang-undangan yang mengatur bidang kepegawaian
2.      Merajalelanya “spoil System” dalam penerimaan, pengangkatan, penempatan dan promosi pegawai.
3.      Tidak adanya data statistik yang akurat tentang jumlah pegawai Negeri yang menimbulkan kesukaran dalam kebijaksanan di bidang kepegawaian.
4.      Sistem penilaian yang tidak obyektif.
5.      Pendidikan dan pelatihan yang tidak terarah
6.      Banyaknya instansi yang turut campur tangan dalam memecahkan masalah kesejahteraan pegawai.
7.      Pendapatan pegawai negeri yang rendah dan implikasinya dibidang  kegairahan bekerja, kesukaran dalam menegakkan disiplin pegawai (Siagian, 1988:21).
Kebijakan pengembangan sumberdaya aparatur selain bertujuan meningkatkan wawasan aparatur sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat dalam ukuran yang seimbang, juga meningkatkan profesionalisme agar pegawai negeri sipil lebih aktif dan efisien. Untuk itu pengembangan sumber daya aparatur perlu dilakukan, karena dengan kegiatan tersebut akan terjadi peningkatan kemampuan pegawai, baik kemampuan profesionalnya, kemampuan wawasannya, kemampuan kepemimpinannya maupun kemampuan pengabdiannya. Salah satu instrument penting dalam pengembangan sumber daya aparatur melalui pendidikan dan pelatihan.
Dalam era orde baru mulai tahun 1971 hingga era reformasi pemerintah tak pernah berhenti mengumandangkan perlunya usaha pembinaan, penyempurnaan dan penertiban aparatur pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang dimaksudkan agar mampu menjadi alat yang efisien, efekti, bersih dna berwibawa dan mampu melaksanakan tugas umum Pemerintahan maupun untuk menggerakkan pembangunan secara lancar, dengan dilandasi semangat dan sikap pengabdian terhadap masyarakat.
Pada tahun 1999  dikeluarkan UU No. 43/1999 tentang Pokok-Pokok kepegawaian dan pada tahun 2000 keluar PP 101/2000 tentang Diklat Pegawai Negeri Sipil. Pendidikan dan pelatihan sebagai salah satu bentuk upaya peningkatan kemampuan  sumber daya aparatur, apabila direncanakan dan diselenggarakan dengan cara tepat akan memberikan dampak positif yang cukup besar baik terhadap diri pegawai yang bersangkutan maupun bagi organisasi secara keseluruhan. Hampir dapat dipastikan bahwa dengan adanya pendidikan dan pelatihan akan menambah pengetahuan, keterampilan serta pengabdian sehingga dengan sendirinya akan dapat meningkatkan kemampuan administrative pegawai dan pada akhirnya juga akan membuka peluang yang lebih besar bagi perkembangan karier pegawai yang bersangkutan.
Harapan-harapan seperti dijelaskan di atas, pada Negara-negara berkembang termasuk Indonesia, belum sepenuhnya dapat terwujud  karena masih terdapatnya kelemahan-kelemahan di dalam implementasi pendidikan dan pelatihan.
Belum sempurnanya pelaksanaan Diklat dapat dilihat baik dari sudut ketidak samaan pelaksanaan dengan policy guidelines maupun minimnya hasil yang dicapai. Dalam banyak hal “pengembangan sumberdaya aparatur tidak selalu didasarkan pada kebutuhan, dilakukan kurang professional dan kurang berkesinambungan “(Thoha dan Dharma, 1999:52).
Kondisi pelaksanaan kebijakan pembangunan sumberdaya aparatur (Diklat) di pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara juga menunjukkan kekurang sesuaian dengan policy  guideline, sehingga hasilnya juga belum seperti yang diharapkan. Kultor Pemkot Kendari yang masih didominasi oleh kultur pamong praja yang lebih berorientasi pada status daripada prestasi mengakibatkan pengembangan sumber daya aparatur lebih mengarah kepada kuantitas dan status daripada kualitas dan prestasi.
Sedikitnya para pegawai yang berhasil mengikuti Diklat berakibat pada terjadinya kesenjangan antara harapan masyarakat dan pelayanan pemerintah daerah yang semakin berkualitas dengan pelaksanaan pelayanan publik dalam tubuh birokrasi pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, khususnya pada Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara yang masih belum secara kondisional melaksanakan pelayanan yang prima.
Pengembangan sumber daya aparatur terhadap kinerja Pemerintah Daerah pada Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara yang perlu menjadi perhatian bagaimana pejabat birokrasi dapat memiliki motivasi dan kemampuan pengetahuan yang luas tentang organisasinya serta kualitas pelayanan yang ditunjang oleh responsibility, responsivitas dan akuntabilitas.
Berdasarkan berbagai permasalahan, hasil penelitian dan kondisi nyata di lapangan peneliti berasumsi bahwa pengaruh pengembangan Sumberdaya Aparatur terhadap kinerja  pemerintah daerah (Studi pada kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara) perlu dikaji lebih mendalam guna menemukan konsep dan pola pengembangan sumberdaya aparatur dalam mencapai kinerja yang optimal di abad milenium ini.

1.2.  Rumusan Masalah
Pengembangan sumberdaya aparatur beserta hasil dan dampaknya di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara nampaknya tidak jauh berbeda dengan apa yang diharapkan di atas. Pengembangan sumberdaya aparatur yang kurang didukung oleh lingkungan kebijakan yang kondusif tak dapat diimplementasikan dengan baik. Sehingga mengakibatkan kemampuan dan motivasi aparatur sangatlah rendah. Ini semua berdampak pada merosotnya kinerja pemerintah daerah. Kalau kondisi ini tidak segera diatasi dengan melakukan pengembangan  sumberdaya aparatur, dikhawatirkan secara administratif Jajaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara akan kehilangan legitimasinya, dan secara ekonomi akan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka pernyataan masalahnya (Problem Statement) dapat ditegaskan sebagai berikut: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara dalam mengembangkan sumber daya aparaturnya belum sepenuhnya memperhatikan seluruh aspek/dimensi pengembangan sumberdaya aparatur. Akibatnya kinerja pemerintah Daerah dalam pelayanan belum maksimal.
Berdasarkan pernyataan masalah tersebut dapat dikemukakan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1.      Sebagai permaslaahan umum adalah seberapa besar pengaruh pengembangan sumber daya apartur terhadap kinerja Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara.
2.      Selanjutnya diperinci menjadi permasalahan khusus yang diuji dalam penelitian adalah:
1)      Seberapa besar pengaruh motivasi (X1)
2)      Seberapa besar pengaruh kemampuan Aparatur (X2)
3)      Seberapa besar pengaruh budaya organisasi (X3)

1.3.  Tujuan Penelitian
1.3.1.   Menganalisis kontribusi pengembangan sumberdaya aparatur secara keseluruhan dan secara dimensional terhadap kinerja pemerintah daerah
1.3.2.   Menganalisis berapa besar kontribusi pengembangan sumberdaya aparatur secara keseluruhan dan secara dimensional terhadap kinerja pemerintah daerah.

1.4.  Kegunaan Penelitian
1.4.1.   Untuk pengembangan ilmu. Penelaahan terhadap pengembangan sumberdaya manusia aparatur pemerintah kota, khususnya aparatur Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara ini dapat memberi sumbangan teoritik kepada ilmu administrasi khususnya reformasi administrasi. Konsep dan informasi yang diperoeh dari penelitian dapat memperkaya teori administrasi dalam bidang pengembangan sumberdaya manusia dalam birokrasi pemerintahan.
1.4.2.   Kegunaan lain dari penelitian ini adalah kegunaan praktis, yakni penerapan ilmu administrasi negara. Hasil penelitian berupa konsepsi operasional dapat dipergunakan untuk menyempurnakan pengembangan sumberdaya aparatur. 




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
DAN HIPOTESIS
                                            ................................................................................
2.1.  Pengembangan Kapasitas Sumber Daya Untuk Peningkatan Kinerja      
Salah satu tujuan dibentuknya organisasi publik adalah agar ia menjadi wahana yang efektif dan efisien dalam mewujudkan cita-cita bersama. Agar cita-cita atau tujuan tersebut dapat tercapai, maka organisasi tersebut harus merumuskan dengan jelas hierarchi otoritas, pembagian tugas berdasarkan spesialisasi keahlian, pembagian yang jelas hak dan kewajiban, mengutamakan hubungan impersonal  serta mengedepankan seleksi dan promosi berdasarkan kecakapan teknis. Dalam praktek pemerintah modern, ada 4 prinsip yang harus dipegang yakni “cutting red tape, putting customer first, empowering employeeto get result, cutting back to basic: producing better government for less (Peter, 1993: XXX VIII) Prinsip tersebut dimaksudkan agar tugas pelayanan  pemerintah dilakukan dengan baik.
Organisasi pemerintah daerah sebagai suatu system hendaknya pelayanannya merupakan kombinasi antara service operating system and service delivery system (Loveluck, 1991 : 14) Pelayanan yang menekankan pada service delivery system berarti pemerintahan daerah atau birokrasi menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat secara luas. Sedangkan kualitas pelayanannya diukur dari service performance (persepsi manajemen), perceive (pelayanan yang dirasakan masyarakat) dan perceive service (pelayanan yang diharapkan masyarakat). Untuk bisa memberikan pelayanan yang baik, aparat haruslah dikembangkan motivasi dan kemampuannya. Kegiatan inilah yang disebut pengembangan sumberdaya aparatur.
Amstrong mengatakan bahwa sumber daya manusia adalah harta yang paling penting bagi suatu organisasi (Amstrong, 1994:1). Oleh karena ia harus mendapatkan perhatian yang serius agar sasaran organisasi dapat dicapai sesuai dengan harapan. Salah satu sasaran yang dapat digunakan oleh para manajer dalam rangka melaksanakan investasi dan perhatian terhadap sumberdaya manusia di dalam organisasi adalah dengan melakukan pengembangan terhadap sumberdaya manusia tersebut.
Ada empat aspek yang terkandung dalam pengembanagn sumberdaya aparatur sebagaimana yang dikemukakan oleh Bryant dan White yang meliputi “capacity, equity, empowerment and sustainambility” (Bryant dan White, 1982: 15). Setiap upaya pengembangan   haruslah memberikan penekanan pada kapasitas (capacity) yaitu upaya meningkatkan kemampuan beserta energi yang diperlukan untuk itu. Setelah itu penekanan diberikan pada aspek pemerataan (equity) dalam rangka menghindari perpecahan di dalam masyarakat yang dapat menghancurkan kapasitasnya. Selain itu harus pula diperhatikan aspek pemberian kekuasaan dan wewenang (empowerment) yang lebih besar kepada masyarakat. Dengan maksud agar hasil pembangunan dapat benar-benar bermanfaat bagi masyarakat, karena aspirasi dan partisipasi masyarakat terhadap pembangunan dapat meningkat. Di samping adanya wewenang untuk memberikan koreksi terhadap keputusan yang diambil tentang  lokasi sumberdaya. Terakhir adalah aspek keberlanjutan atau keberlangsungan yang harus diperhatikan mengingat keterbatasan sumberdaya yang ada. Jika diamati lebih lanjut maka aspek yang perlu dikembangkan adalah aspek motivasi atau kemauan.
Kemudian Schuler dan Youngblood mengungkapkan bahwa pengembangan sumberdaya aparatur pada suatu organisasi akan mencakup berbagai faktor seperti: “pendidikan dan pelatihan, perencanaan dan manajemen karir, peningkatan kualitas dan produktivitas kerja, serta peningkatan kesehatan dan keamanan kerja”  (Youngblood, 1999: 16). Sementara itu Klinger dan Nalbandian memasukkan pula, “faktor motivasi kerja, dan penilaian prestasi kerja sebagai aspek yang tercakup dalam pengembangan sumberdaya aparatur” (Kingner dan nalbandian, 1985:21).
Di samping itu, Osborne dan Gaebler justru lebih mementingkan pengembangan visi aparat pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada public (Osborne dan Gaebler, 1992:113).  Sejalan dengan desentralisasi, mereka lebih mengedepankan pengembangan sumberdaya aparatur pada visi, inovasi, dan kemampuan aparat untuk melaksanakan semangat wirausaha dalam pelaksanana tugas mereka.
Selanjutnya CDA (Canadian International Development Agency) menyatakan bahwa pengembangan sumber daya aparatur menekankan manusia sebagai alat (means) meupun tujuan akhir pembangunan. Dalam jangka pendek, dapat diartikan sebagai pengembangan pendidikan dan pelatihan untuk memenuhi kebutuhan segera tenaga teknik, kepemimpinan, tenaga administrasi dan upaya ini ditujukan pada kelompok sasaran untuk mereka terlibat dalam system sosio-ekonomi di Negara itu.
Di sisi lain, Emmeriji merumuskan pengembangan sumber daya aparatur merupakan tindakan : (a) kreasi sumberdaya manusia; (b) pengembangannya; (c) menyusun struktur insentif atau upah sesuai dengan peluang kerja yang ada ( Emmerji, 1999:69). Ketiga pengertian ini mengandung upaya untuk meningkatkan sumberdaya aparatur yang berkualitas melalui pendidikan formal dan pelatihan serta pemanfaatan sumberdaya tersebut.
Kemudian Martoyo menyebutkan ada 8 delapan) jenis tujuan pengembangan sumberdaya aparatur, yaitu:
1.      Produktivitas personil organisasi (productivity)
2.      Kualitas produk organisasi (quality)
3.      Perencanaan sumber daya manusia (human resources planning)
4.      Semangat personil dan iklim organisasi (morale)
5.      Meningkatkan kompensasi secara, tidak langsung (ndirect compensation)
6.      Kesehatan dan keselamatan kerja (health and safety)
7.      Pencegahan merosotnya kemampuan personil (absolerence prevention)
8.      Pertumbuhan kemampuan personil (personal growth)  (Martoyo, 2000:38)
Stewart (1997:15) mengatakan bahwa modal intelektual merupakan kekayaan baru organisasi, karena modal intelektual adalah materi  intelektual yang berupa pengetahuan, informasi, hak pemilihan intelektual, pengalaman yang dapat digunakan untuk menciptakan kekayaan.
Untuk membangun sumberdaya aparatur berkualitas yang dapat dijadikan modal intelektual bagi organisasi, diperlukan upaya yang sistematis, berkelanjutan dan komprehensif. Upaya tersebut tidak hanya dilakukan melalui pendidikan formal yang diikuti oleh anggota organisasi, tapi juga didukung iklim organisasi yang kondusif. Sebab modal intelektual harus dibangun melalui suatu tradisi ilmiah, dengan dukungan politik yang kuat dari para pengambil keputusan.
Membangun sumberdaya aparatur yang berkualitas agar dapat menjadi modal intelektual organisasi, dapat dilakukan melalui penciptaan suatu organisasi pembelajaran (learning organization). Di dalam organisasi pembelajaran yang perlu dikembangkan adalah membiasakan setiap anggota organisasi berpikir secara sistematik, tidak berpikir secara individual ataupun  terkotak-kotak. Sebab pada dasarnya setiap anggota organisasi memiliki tujuan yang sama yaitu mencapai tujuan organisasi (Etzioni: 1992:7).
Dalam pengembangan sumberdaya aparatur dijumpai beberapa model teoritik. Salah satu model teoritik adalah model teoritis pengembangan sumberdaya manusia dalam rangka peningkatan kinerja organisasi yang dikemukakan oleh Sluyter (1998: 14). Sluyter mengemukakan jalinan hubungan antara variabel pengembangan  sumberdaya manusia dalam kaitannya dengan peningkatan kinerja organisasi sebagai nampak dalam gambar 1.1. berikut.









Gambar 1.1. Variabel-Variabel Pengembangan Sumberdaya Manusia

Model tersebut menjelaskan bahwa kinerja organisasi sangat ditentukan oleh variabel  internal (motivasi dan kompetensi) dan variable eksternal (budaya organisasi dan regulasi). Untukbisa memperoleh pegawai yang mempunyai motivasi, dan kemampuan yang tinggi diperlukan upaya yang berwujud pengembangan sumberdaya manusia dengan segala dimensinya. Pengembangan sumberdaya manusia akan dapat dilakukan jika ada aturan yang mendukung serta budaya organisasi yang kondusif.
Menurut Hersey and Blanchard, penyelenggaraan tugas pekerjaan administrasi Negara yang semakin luas dan rumit menuntut “kemampuan dan kemauan (ability and willingness) orang-orang untuk memikul tanggung jawab untuk mengarahkan perilaku mereka sendiri” (Hersey and Blanchard, 1993: 179). Dengan menggunakan rumusan Victor Vroom (1964: 24) bahwa P = C x M kiranya dapat memperkuat dan menjelaskan pendapat Hersey and Blanchard tersebut. Dikemukakan bahwa pelaksanaan tugas pekerjaan yang dapat memberikan buah hasil yang bermanfaat (P= Performance) hanya dapat dijamin apabila didukung oleh kemampuan (C = Competence) dan kemauan (M= Motivation) yang memadai.
Pada hakekatnya pengembangan  sumebrdaya aparatur adalah memberikan motivasi kepada para pegawai baik secara ekstrinsik maupun instrinsik sehingga mereka dapat merasakan kepuasan kerja di lingkungan kerjanya. Kegiatan ini diharapkan merupakan insentif yang mampu menggerakkan perilaku mereka untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Hersey dan Blanchard, (1993:8) mengemukakan paling tidak ada tiga keterampilan yang perlu dimiliki setiap pegawai sehingga proses manajemen dapat berlangsung secara rasional, efektif, dan efisien. Ketiga keterampilan itu adalah keterampilan teknik: kemanusaiaan dan konseptual. Karena itu ketiga daya yang harus dimiliki keterampilan teknik, keterampilan kemanusiaan dan keterampilan konseptual sehingga para birokrat mampu melaksanakan proses manajemen secara rasional, efektif dan efisien.
Jika dikaitkan dengan pelayanan, maka kinerja pemerintah daerah paling tidak dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor yakni kompetensi (kemampuan) dan motivasi aparatur. Sedangkan kinerja pemerintah daerah dapat dilihat dari aspek “productivity, quality of service, responsivenenss, responsibility and accountability” (Livine et. Al, 1990: 113). Agar kinerjanya memenuhi kualifikasi seperti yang dikemukakan oleh Levine maka perlu dilakukan pembenahan dan pengembangan terhadap aparatur yang meliputi kompetensi dan motivasinya (Sluyter, 1998:45). Selain aparatur, segi lain yang perlu diperhatikan dalam rangka peningkatan kinerja aparatur adalah budaya organisasi (Paramitha, 1989: 55; Dwiyanto, 1990:68).
Wellins et al. menyatakan bahwa “pengembangan sumberdaya aparatur dipengaruhi oleh kombinasi  nilai (budaya)  organisasi, system sumber daya manusia, dan struktur organisasi” (Wellins et. Al, 1991:22). Untuk menciptakan lng organisasi yang kondusif menurut Clutterbuck perlu membuat struktur yang memungkinkan organisasi mencapai terbaik (1994: 56), menciptakan budaya yang cocok dan benar untuk organisasi yang bersangkutan (1994:62); membangun sebuah tim kerja (1994: 81-82); dan mengubah perilaku manajer dan pegawai melalui organisasi belajar (1994: 108-133).
Davis Newstrom mendefinisikan budaya organisasi sebagai serangkaian asumsi-asumsi, kepercayaan, nilai-nilai dan norma-norma yang dipahami oleh  anggota-anggotanya (Davis dan Newstrom, 1993: 53). Budaya semacam ini dapat secara sengaja dibentuk oleh key members atau memang muncul pada perjalanan waktu. Begitu  kuatnya faktor budaya di dalam organisasi, maka budaya organisasi tertentu dapat tergambar pada identitas para anggota organisasi tersebut yang sekaligus akan menggambarkan visi apa dan bagaimana organisasi akan tampil. Ini berarti menyangkut bagaimana cara kerja, sikap terhadap kerja, cara dan memecahkan masalah, dan lain-lain. Dengan budaya organisasi yang akan tercipta peraturan corps, stabilitas dan kontinuitas. Dengan kata lain, rapuhnya budaya  suatu organisasi akan membuat organisasi tersebut terancam pecah dan pada akhirnya akan mengancam keberlanjutan organisasi untuk hidup.
Konsep budaya lain yang cukup menarik adalah yang dikembangkan oleh Schein yang dikutip oleh Luthans (1993: 50), Schein menulis bahwa budaya organisasi adalah suatu pola mengenai asumsi-asumsi dasar yang ditemukan, digali dan dikembangkan oleh kelompok tertentu sebagai proses belajar dalam menghadapi permasalahan-permasalahan adaptasi eksternal dan integrasi internal, yang akhirnya dipertimbangkan sebagai suatu yang bernilai, dan oleh karena itu, harus disosialisasikan kepada anggotanya sebagai cara untuk berfikir dan merasakan permasalahan yang dihadapi.
Budaya juga dapat dilihat dari perilaku yang dipelajari, budaya selalu mengacu pada inetraksi dengan orang lain, budaya mengacu pada bagaimana kepuasan dapat dicapai, dan budaya merupakan keteraturan yang konsisten dan terpola. Bahkan pada tahap tertentu akan berkembang pada dominant culture dan subculture pada beberapa departemen di organisasi (Davis dan Newstrom, 1993: 16).
Tjokrowinoto (1996: 116) mengemukakan bahwa secara teoritis ada empat perspektif tentang peran pengembangan sumebrdaya aparatur dalam pembangunan yang dapat disarikan sebagai berikut:
1.   Perpektif fungsionalis, berpendapat bahwa pendidikan sebagia komponen utama pembangunan sumebrdaya aparatur harus berfungsi sebagai wacana untuk mewariskan norma-norma dan nilai-nilai masyarakat yang dapat memperkuat homogenitas dengan mewajibkan konformitas, perilaku dan keterampilan. Menurut Perspektf ini, kualitas manusia deprogram melalui pendidikan;
2.   Perspektif liberal. Bagi kaum liberal, pembangunan sumebrdaya manusia lebih dari sekedar mendorong konformitas individu dengan tata nilai yang ada, akan tetapi harus mendorong individu untuk mengembangkan potensinya sebagai manusia melalui pengembangan talenta fisik, emosi, sprit dan intelektualnya.
3.   Perspektif sosial-demokratik. Perspektif ini melihat peranan pembangunan sumberdaya manusia dalam mewujudkan persamaan dan keadilan social.   Karenanya apabila pendidikan gagal dalam mewujudkan equaility of opportunity, maka hal itu akan berarti kegagalan dalam mengembangkan potensi individu.
4.   Perspektif markis. Sebagaimana diduga, perspektif ini sangat berbeda dengan perspektif lainnya. Mereka melihat di dalam masyarakat yang kapitalis, pembangunan sumberdaya manusia merupakan proses reproduktif tenaga kerja untuk  memenuhi kebutuhan mereka yang menguasai tenaga kerja yang pasif, taat (obedient) yang menerima struktur kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Selanjutnya Notoatmodjo, membagi 2 (dua) aspek kualitas sumber daya manusia, yakni “aspek fisik (kualitas fisik), dan aspek non fisik (kualitas non fisik)” Notoatmodjo, 1998:2). Lebih lanjut dikatakannya bahwa untuk meningkatkan kualitas fisik dapat diupayakan melalui program-program kesehatan dan gizi. Sedangkan untuk meningkatkan kualitas non fisik maka upaya pendidikan dan pelatihan diperlukan. Meskipun kesehatan dan gizi, penurunan fertilitas dan sebagainya termasuk dalam pengertian pengembangan sumberdaya manusia.
Ketiga pengertian di atas mengandung upaya untuk meningkatkan sumberdaya aparatur yang berkualitas melalui pendidikan formal dan pelatihan serta pemanfaatan sumber daya tersebut.
Berdasarkan teori-teori yang telah dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa pengembangan sumberdaya aparatur tidak terlalu jauh berbeda dengan harapan atas atribut profesionalisme, yaitu:
1.      Seseorang memiliki keterampilan dan keahlian teoritis ilmiah tertentu sesuai dengan bidang pekerjaan yang akan digelutinya;
2.      Harus mampu menumbangkan ilmu dan tenaganya secara optimal untuk  kelancaran usaha tempat kerjanya;
3.      Harus dapat mendorong peningkatan produktivitas yang berkelanjutan;
4.      Memiliki sikap untuk terus menerus memperbaiki dan meningkatkan keahlian dan keterampilannya;
5.      Disiplin dan patuh aturan profesionalisme dan tempat kerjanya
6.      Memiliki kesiapan untuk berubah atau melakukan penyesuaian terhadap perubahan-perubahan yang tengah berlangsung atau bahkan mampu menciptakan perubahan (Tjokrowinoto, 1996: 192).
Kemudian tujuan pengembangan sumberdaya aparatur sebagamana yang dikemukakan oleh Maryoto adalah untuk “memperbaiki efektivitas dan efisiensi kerja mereka dalam melaksanakan dan mencapai sasaran program ataupun tujuan organisasi” (Martoyo, 2000:68). Hal tersebut di atas dapat dicapai melalui: (1) Pengetahuan aparatur, (2) Keterampilan aparatur; (3) Sikap aparatur terhadap tugas-tugasnya.
Dari hal tersebut di atas dapat dikatakan bahwa tujuan yang diinginkan dengan pengembangan sumberdaya aparatur dalam organisasi dapat ditingkatkannya kemampuan, keterampilan, dan sikap karyawan atau anggota organisasi sehingga lebih efektif dan efisien dalam mencapai sasaran-sasaran program ataupun tujuan organisasi.
Selanjutnya Gomes and Park melihat tolok ukur pengembangan sumberdaya aparatur berdasarkan informasi yang bisa diperoleh pada lima tingkatan  (1) reactions; (2) learning; (3)  behavior; (4) organization result dan (5) costs effectivity.
1.      Reactions: ukuran mengenai reaksi ini didesain untuk mengetahui opini dari para peserta mengenai program pengembangan. Usaha untuk mendapatkan opini para peserta tentang pengembangan, terutama didasarkan pada beberapa alasan utama seperti (a) untuk mengetahui sejumlah mana peserta merasa puas dengan program (b) untuk maksud diadakannya beberapa revisi atas program pengembangan; (c) untuk menjamin agar para peserta yang lain bersikap represif untuk mengikuti program pengembangan.
2.      Learning. Informasi yang ingin diperoleh melalui jenis evaluasi ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh peserta menguasai konsep-konsep, pengetahuan, dan keterampilan-keterampilan yang diberikan selama pengembangan.
3.      Behaviors. Perilaku dari pserta, sebelumnya dan sesudahnya pengembangan, dapat dibandingkan guna mengetahui tingkat pengaruh pengembangan terhadap perubahan performance.
4.      Organization results, tujuan dari pengumpulan informasi pada level ini adalah untuk menguji dampak pengembangan terhadap kelompok kerja  atau organisasi secara keseluruhan. Data bisa dikumpulkan sebelum dan sesudah pengembangan atas dasar kriteria produktivitas.
5.      Costs effectivity. Ini dimaksudkan untuk mengetahui besarnya biaya yang dihabiskan bagi program pengembangan, dan apakah besarnya biaya untuk pengembangan tersebut terhitung kecil atau besar dibandingkan dengan biaya yang timbul dari permasalahan yang dialami oleh organisasi (Gomes and Park, 1997:  490).      
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa tolak ukur model pengembangan sumberdaya aparatur dapat dilihat dari sisi kebutuhan organisasi, sasarannya, isi progam pengembangan, prinsip-prinsip belajar, pelaksanaan dan program pengembangan itu sendiri. Dengan demikian dapat diprediksikan hal-hal yang menjadi tujuan serta sasaran dari pengembangan sumberdaya aparatur.

2.2.  Peningkatan Kinerja Aparatur                      
Salah satu factor/variable yang besar peranannya dalam meningkatkan kinerja adalah motivasi. Pentingnya masalah motivasi yang dikaitkan dengan masalah kinerja, sudah lama diakui pentingnya bagi praktek management. Taylor yang oleh banyak ahli management dianggap sebagai “the founding father of scientific”, sejak semula sudah menyadari peranan motivasi dalam management. Taylor dan pengikutnya berpendapat bahwa akan melakukan tugas mereka secara efektif apabila mereka dilatih dengan baik dan memperoleh pembayaran yang baik pula. Taylor juga mengatakan bahwa tidak efisiennya industri-ndustri di Amerika karena metode kerj ayang dipergunakan tidak baik, perlengkapan yang tidak memadai dan system pemberian insentif yang tidak direncanakan dengan tepat. Selanjutnya ia mengatakan bahwa metode ilmiah dapat digunakan untuk mencari “satu cara terbaik” (one best way) untuk melaksanakan pekerjaan atau untuk menyusun rencana pemberian insentif yang sesuai dengan tuags yang  dilakukan oleh pegawai.
Dari sudut motivasi, implikasi ajaran taylr tersebut ialah bahwa penghargaan berupa uang (money reward) dianggap sebagai motif utama seseorang, dan mengabaikan adanya kebutuhan-kebutuhan yang lain seperti misalnya need for fulfillment dan lain sebagainya. Tekanan yang berlebihan terhadap pentingnya financial reward ini telah menyempitkan ruang gerak management untuk dapat memberikan penghargaan-penghargaan yang lain. Di samping itu, Taylor juga mendasarkan teorinya pada asumsi bahwa motivasi kerja seseorang dapat ditimbulkan apabila penghargaan dan hukuman dikaitkan langsung dengan prestasinya, dan sebagai konsekuensinya, diperlukan metode pengukuran yang obyektif untuk dapat mengukur prestasi kerja seseorang. Hal ini merupakan kelemhana lain dari teori motivasi Taylor karena sekalipun barangkali tidak sulit untuk memperoleh metode yang obyektif untuk mengukur prestasi pegawai yang menduduki tingkatan yang rendah, akan tetapi sulit seklai untuk mengukur prestasi kerja pegawai yang tergolong staf atau posisi managerial yang lain.  Hartono (1997) yang meneliti tentang pengaruh kenaikan gaji terhadap kinerja PNS, menunjukkan bahwa tak ada hubungan yang  signifikan antara kenaikan gaji dengan kinerja. Ini berarti bahwa gaji merupakan variable penting namun bukan segalanya dalam upaya meningkatkan kinerja.
Teori motivasi yang dikembangkan oleh MAslow, dalam karyanya yang berjudul “Motivation and Personality” Maslow mengataan bahwa seseorang didorong untuk mencapai tujuan tertentu karena ia mempunyai kebutuhan yang timbul dari    dalam dirinya sendiri untuk mencapainya. Maslow mengkategorikan dan menyusun kebutuhan setiap manusia dalam bentuk  hirarki dimulai dengan kebutuhan physiologis sebagai kebutuhan yang paling rendah, diikuti  kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan perasaan ikut memiliki, kebutuhan akan penghargaandan kebutuhan untuk dapat menjadi sesuatu yang diharapkan, sebagai kebutuhan yang tertinggi.
Maslow (1974: 82-84) menggambarkan sebagai berikut: Kebutuhan physiologis (physiological need); tergolong dalam kebutuhan antara lain lapar,  haus, tidur, sex dan kebutuhan lainnya yang bersifat jasmani. Kebutuhan physiologis ini akan sangat dominant selama belum terpenuhi.  Ini berarti bahwa kebutuhan, yang lain tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk memotivasi bilamana kebutuhan physiologis ini belum terpenuhi  sebagaimana dikatakan oleh Maslow.
Kebutuhan akan rasa aman (Safety needs) Dalam terpenuhinya kebutuhan physiologis, maka kebutuhan pad atingkatan yang lebih tiggilah yang dominant. Termasuk dalam kebutuhan ini antara lain proteksi terhadap seseorang dari gangguan fisik seperti misalnya kesehatan jasmani dan jaminan keadaan ekonominya. Dari sudut management, pemenuhan terhadap kebutuhan ini, terlihat dari usah a mereka untuk memberikan jaminan kerja dan memperbesar bantuan terhadap pegawai.
Kebutuhan akan rasa ikut memiliki dan cinta (belongiangness and love need). Apabila dua kebutuhan yang tersebut pertama menyangkut diri pribadi seseorang, kebutuhan akan rasa ikut memiliki dan kebutuhan terhadap cinta kasih, merupakan kebututah terhadap orang lain yaitu kebutuhan akan perasaan sebagai bagian dari anggota kelompoknnya dan kebutuhan untuk menerima dan memberikan rasa cinta terhadap sesamanya.
Kebutuhan terhadap penghargaan (esteem need) Termasuk di dalamnya kebutuhan akan penghargaan diri orang lain dan dirinya sendiri. Pemenuhan terhadap kebutuhan ini akan dapat menimbulkan rasa percaya pada diri sendiri.
Kebutuhan atau keinginan untuk menjadi apa yang dikehendaki sesuai dengan kemampuannya. Kebutuhan ini disebut “self actualization needs”. Dalam hubungan ini Maslow juga mengatakan bahwa pemuasan kebutuhan ini hanya mungkin terpenuhi apabila kebutuhan sebelumnya sudah terpenuhi.
Mengacu pad auraian di atas dapat disimpulkan bahwa inti ajaran Maslow ini didasarkan pada dua premis pokok yaitu: (1) Bahwa manusia merupakan binatang yang mempunyai keinginan (Wanting animal) dan kebutuhannya tergantung pada apa yang telah dimiliki. Hanya kebutuhan yang belum terpenuhi yang dapat mempengaruhi tingkah lakunya. Kebutuhan yang telah terpuaskan, tidak lagi merupakan motivator; (2) Kebutuhan ses etersusun dalam urutan pentingnya. Apabila salah satu kebutuhan tersebut terpenuhi, kebutuhan berikutnya timbul dan menuntut untuk dipenuhi. Bagi seorang manager untuk memotivasi bawahannya cukup dengan mengetahui kebutuhan manakah dalam hirarki tersebut yang belum terpenuhi.

2.3.  Kemampuan Aparatur Untuk Meningkatkan Kinerja                   
Dalam dasa warsa  1990-an telah terjadi pergeseran tentang kemampuan karyawan. Kalau dulu titikberatnya adalah peningkatan kemampuan teknis, dewasa ini penekanan titik beratnya pada kemampuan intelektual quisen, Emosional Quisen dan Spiritual Quisen secara integral dan holistic. Hasil studi yang dilakukan Solemen (1990: 89) menunjukkan bahwa 3 (tiga) kemampuan manusia ini mempunyai andil yang besar terhadap peningkatan kinerja.
Atmosudirjo mengemukakan bahwa: “Kemampuan merupakan kekuatan mental, kekuatan untuk berbuat memenuhi kebutuhan (demand) daripada situasi dan kondisi” (Atmosudirjo, 1973: 124). Hal ni berarti di dalam kemampuan, terkandung pengertian kekuatan mental yang ada dalam diri manusia yang memungkinkan ia dapat berbuat sesuatu atau tidak.
Menurut Gibson et al, kemampuan “Menunjukkan potensi seseorang dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan” (Gibson et al, 1997: 104). Ada kemungkinan kemampuan dimanfaatkan atau tidak dimanfaatkan. Kemampuan berhubungan erat dengan kemampuan fisik dna mental yang dimiliki orang untuk melaksanakan pekerjaan bukan yang  ingin dilaksanakan.
Dari kedua pendapat tersebut di atas, dapat diketahui bahw akemampuan seseorang dapat dilihat pad aadanya kekuatan atau segenap daya dan kesanggupan orang tersebut untuk melakukan sesuatu hal. Dengan demikian kemampuan seseorang pegawai akan ditunjukkan dengan kekuatan dan kesanggupannya melakukan pekerjaan yang dibebankan kepadanya, diwujudkan hasil kerja atau prestasi kerja yang dicapai.
Sedangkan  Vroom (1946: 198) enyatakan bahwa “kemamuan biasnaya menunjukkan pada potensi untuk melaksanakan suatu tugas yang mungkin digunakan atau mungkin tidak digunakan. Ini menujukkan pada “apa yang dapat dikerjakan seseorang” dan bukan pada “apa yang dikerjakan”.
Berdasarkan  atas uraian di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpuan bahwa kemampuan merupakan modal yang dapat berupa kekuatan mental, kesanggupan, kesungguhan, keterampilan, pengetahuan yang semuanya itu masih merupakan “Potensi” seseorang untuk melaksanakan pekerjaan. Kemampuan di sini dapat dialihkan oleh seseorang kepada orang lain melalui proses pendidikan dan latihan. Oleh karenanya, untuk mengetahui kemampuan seseorang dalam pela tugasnya dapat didekati melalui tingkat pendidikan dan latihan yang pernah ditempuhnya serta kemampuannya dalam menyerap pengalaman yang pernah dijalaninya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemamuan kerja seseorang pegawai dapat diamati dari pendidikan yang diperolehnya, training atau latihan yang diikutinya serta pengalaman kerja dibidang tugas atau bidang lain yang ada hubungannya.
Kemampuan seseorang terbentuk dari pengetahuan dan keterampilannya. Seseorang pegawai yang memiliki kemampuan kerja tinggi dalam pelaksanaan pekerjaan berarti ia memilki pengetahuan tingkat tinggi mengenai hal-hal yang diperlukan dalam pelaksanaan pekerjaan dan memiliki keterampilan sangat baik dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Pegawai yang berpengetahuan tinggi adalah pegawai yang memiliki latar pendidikan yang tinggi dan spesialisasi pendidikan sesuai dengan bidang pekerjaannya, ia memiliki banyak informasi actual mengenai dinamika pekerjaan baik diperoleh dari penjelasan pemerintah maupun dari artikel dalam media cetak, ia memiliki banyak teori yang melandasi cara berpikir dalam pelakansaan pekerjaan, ia memahami setiap peraturan perundang-undangan berikut petunjuk pelaksanaannya yang berlaku dan berkaitan dengan bidang pekerjaannya.
Jika pelatihan dan penugasan khusus sering dialami oleh pegawai maka ia akan memiliki pengalaman sangat luas yang diwujudkan dalam keterampilan melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan keapdanya. Dengan kata lain, apabila seseorang pegawai memiliki kemamuan kerja tinggi dalam melaksanakan pekerjaan akan menghasilkan mutu pekerjaan sangat baik  atau prestasi yang tinggi.
Hal ini diperkuat oleh Ulrich yang menyatakan bahwa “untuk menjadikan organisasi efektif adalah dengan cara meningkatkan kemampuan pegawainya” (Ulrich, 1998: 34).

2.4.  Kinerja Pemerintah Daerah               
Penilaian kinerja merupakan suatu kegiatan yang sangat penting karena dapat digunakan sebagai tolak ukur atau keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai visi dan misinya. Dengan melakukan penilaian terhadap kinerja maka upaya memperbaiki kinerja bisa dilakukan secara lebih terarah dan sistematis. Informasi mengenai kinerja juga penting untuk menciptakan tekanan bagi pejabat penyelenggara pelayanan untuk melakukan perubahan-perubahan dalam organisasi. Selain itu informasi mengenai kinerja akan memberikan gambaran sejaumana hasil kerja yang telah dicapai untuk kemudian dilakukan upaya memperbaiki kinerja dengan mempedomani kekurangan dan kesalahan yang terjadi.
Penyelenggaraan roda Pemerintahan belum terbiasa melakukan penilaian terhadap kinerja birokrasi public, berbeda dengan organisasi bisnis yang kinerjanya dengan mudah dapat dilihat dari profitabilitas, yang diantaranya tercermin dari ndeks harga saham di bursa. Sementara birokrasi public belum memiliki tolak ukur yang jelas dan tidak mudah diperoleh informasinya oleh public.
Terbatasnya  informasi mengenai kinerja birokrasi public terjadi karena kinerja belum dianggap sebagai suatu hal yang penting oleh pemerintah.Tidak tersedianya informasi mengenai indicator inerja birokrasi public menjadi bukti dari ketidakseriusan pemerintah untuk menjadikan kinerja pelayanan publik sebagai agenda kebijakan yang penting. Perlakuan pemerintah terhadap birokrasi  seringkali tidak ada hubungannya dengan kinerja birokrasinya. Misal dalam menentukan anggota birokrasinya, pemerintah sama sekali tidak mengaitkan anggaran dengan kinerja birokrasi. Anggaran birokrasi public selama ini lebih didasarkan atas input, bukan output. Anggaran yang diterima oleh sebuah birokrasi public lebih ditentukan oleh kebutuhan, bukan oleh hasil yang  akan diberikan birokrasi pada masyarakatnya. Akibatnya dorongan untuk mewujudkan hasilkinerja cenderung rendah dalam kehidupan birokrasi public.
Kesulitan lain dalam menilai kinerja birokrasi public muncul  karena tujuan dan misi birokrasi bukan hanya sangat kabur,  tetapi juga bersifat multidimensional. Kenyataan bahwa birokrasi memiliki stakeholders yang banyak dna memiliki kepentingan yang sering berbenturan satu dengan lainnya membuat birokrasi mengalami kesulitasn untuk merumuskan misi yang jelas. AKibatnya ukuran kinerja organisasi di mata stakeholders berbeda-beda.
Berdasarkan  prinsip pelayanan sebagaimana telah ditetapkan dalam Keputusan Men.PAN Nomor: KEP/26M.PAN/2/2004, yang kemudian dikembangkan menjadi 14 unsur yang “relevan, valid” dan “reliable”, sebagai unsur minimal yang harus ada untuk dasar pengukuran indeks kepuasan masyarakat adalah sebagai berikut:
1.      Prosedur pelayanan, yaitu kemudahan terhadap pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur;
2.      Persyaratan Pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administrative yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jelas pelanannya;
3.      Kejelasan petugas pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang memberikan pelayanan (nama, jabatan serta kewenangan dan tanggungjawabnya);
4.      Kedisiplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan yang berlaku;
5.      Tanggung jawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan tanggung jawab petugas dalam menyelenggarakan dan penyelesaian pelayanan;
6.      Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan keterampilan yang dimiliki petugas dalam memberikan, menyelesaikan pelayanan kepada masyarakat;
7.      Kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan;
8.      Keadaan mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak membedakan golongan/status masyarakat yang dilayaninya;
9.      Kesopanan dan keterampilan petugas, yaitu sikap  dan perilaku petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta saling menghargai dan menghormati.
10.  Kewajaran biaya pelayanan, yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap besarnya biaya yang ditetapkan oleh unit pelayanan;
11.  Kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan;
12.  Kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan;
13.  Kenyamanan  lingkungan, yaitu  kondisi sarana dan rpasarana pelayanan yang bersih, rapi, dan teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman kepada penerima pelayanan;
14.  Keamanan pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit penyelenggaraan pelayanan ataupun sarana yang digunakan, sehingga masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap resiko-resiko yang diakibatkan dan pelaksanaan pelayanan.
Indikator lain untuk mengukur kinerja birokrasi public sebagaimana dikemukakan oleh Dwiyanto, (2002, 50) sebagai berikut:
1.      Produktivitas; konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi tetapi jug aefektivitas pelayanan.
2.      Kualitas layanan; keuntungan utama menggunakan kepuasan masyarakat sebagai indicator menilai kinerja adalah infomrasi mengenai kepuasan masyarakat tersedia secara mudah dan murah yang seringkali diperoleh melalui media massa atau diskusi publik.
3.      Responsivitas; adalah kemampuan organisasi mengenai kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan public sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
4.      Responsibilitas; menjelaskan apakah pelaksanan kegiatan operasional dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar dengan kebijakan organisasi, baik secara implicit maupun ekspilisit oleh sebab itu responsibilitas bisa saja pad asuatu ketika berbenturan dengan responsivitas;
5.      Akuntabilitas, merujuk pada seberapabesar kebijakan dan kegiatan organisasi public tunduk pada pejabat politik yang dipilih oleh rakyat dengan sendirinya akan selalu dalam  konteks ini konsep akuntabilitas digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan organisasi public konsisten dengan kehendak rakyat. 
Zeithmal, Parasuraman, dan Berry (Agus Dwiyanto, 2002: 51) mengemukakan :
Kinerja pelayanan public dapat dilihat melalui berbagai indicator yang sifatnya fisik, seperti tersedianya gedung pelayanan yang representative, fasilitas pelayanan berupa televise, ruang tunggu yang nyaman, peralatan pendukung yang memiliki teknologi canggih, misalnya computer, penampilan aparat yang menarik di mata pengguna jasa, seperti seragam, assesories, serta berbagai fasilitas kantor pelayanan yang memudahhkan pelayanan bagi masyarakat.
Untuk mengetahui kinerja pemerintah, perlu dilakukan penilaian tentang efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan yang dapat diukur melalui pencapaian hasil atau pencapaian tujuan, pelaksanaan fungsi dan orientasi visi, Rue dan Byars (Keban, 1995: 1) mengemukakan:
Kinerja adalah tingkat pencapaian hasil atau pencapaian tujuan organisasi. Kinerja berfaedah untuk menilai kuantitas, kualitas dan efisiensi  pelaksanaan tugas-tugas Pemerintahan dalam menyelenggarakan fungsi pelayanan, pengayoman dan pemberdayan serta motivasi kerja aparatur pemerintahan.  
Pengukuran kinerja pemerintah tidak cukup hanya menilai indicator-indikator yang melekat pada penyelenggaraan Pemerintahan seperti efisiensi dna efektivitas kerja, namun harus diamati juga dari indicator-indikator yang melekat pada pengguna jasa, seperti kepuasan pengguna jasa, akuntabilitas aparatur, dan responsivitas. Penilaian kinerja dari sisi pengguna jasa menjadi sangat penting  karena pemerintah seringkali menggunakan kewenangan monopols sehingga par apengguna jasa tidak memiliki alternative sumber pelayanan. Ketika pelayanan yang diberikan pemerintah tidak memuaskan pelanggan, maka pengguna jasa tidak dapat berbuat banyak karena tidak ada pilihan lan, sehingga puas tidak puasnya masyarakat terpaksa menerima apa adanya.
Kesulitan mendasar dalam penilaian kinerja pemerintah adalah terbentur pada masih kaburnya Visi dan Misi birokrasi pemerintah bahkan juga disebabkan oleh terlalu multidimensionalnya tujuan dan misi pemerintah sehingga sulit untuk dilakukan penilaian. Disisi lain pemerintah sebagai pelayan  public juga mengalami kesulitan dalam merumuskan misi yang jelas. Akibatnya ukuran kinerja pemerintah di mata masyarakat juga berbeda-beda.
Pengukuran kinerja pemerintah yang dilakukan melalui pertanggungjawaban aparatur pemerintah terhadap implementasi tugas, peran dan fungsinya. Responsibilitas menurut Herbert J. Sapiro (Ndraha, 1997: 70) ialah: Accountability, cause dan obligation. Adapaun pengukuran kinerja Pemerintahan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan indicator-indikator kualitas pelayanan, reponsibilitas, responsivitas dan akuntabilitas.

2.5.  Hakikat Pemerintah Daerah               
Di era globalisasi ini, pemerintah Indonesia dihadapkan kepada dua masalah besar dan mendasar dalam mempertahankan eksistensinya sebagai Negara yang berdaulat, pertama, bagaimana mempertahankan dirinya dari agresi atau intervensi Negara/bangsa lain, kedua, bagaimana membangun serta memelihara keutuhan dan kepercayaan dari rakyatnya yang sangat majemuk dengan beragam budaya, suku, bahasa, dan pola piker.
Untuk menjaga keutuhan wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia yang sangat luas, maka diaturlah pembagian daerah Indonesia berdasarkan konstitusi UUD 1945 (pasal 18) yang selanjutnya dijabarkan dalam bentuk Undang-Undnag Pemerintahan di daerah, berbeda dengan era reformasi undang-undang tersebut  dirubah menjadi Undang-undnag Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang inti pokok di dalamnya menyebutkan tugas azas penting yang dianut untuk mengatur roda Pemerintahan daerah, yaitu azas desentralisasi, azas dekonsentrasi dan azas pembantuan (medebewind). Ketiga azas tersebut merupakan konsekwensi   dari dianutnya prinsip Negara kesatuan sebagai pilihanbentuk dan susunan Negara, dengan penekanan azas desentralisasi dan pemberian otonomi kepada daerah guna mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sendiri dalam rangka lebih  memberdayakan masyarakat daerah, sebagaimana dikemukakan Ateng (1993: 67) bahwa “Otonomi daerah adalah keleuasaan dalam bentuk hak dan kewajiban serta tanggung jawab badan pemerintah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sebagai manifestasi desentralisasi”.
Pendapat yang sama dikemukakan dengan redaksi yang berbeda oleh Sarundanjang (1999:31) yang menyatakan bahwa “otonomi adalah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri tanpa adanya campur tangan dan intervensi pihak lain”. Dari pendapat tersebut dapat dimaknai bahwa otonomi daerah dimaksudkan untuk memperkecil intervensi pemerintah pusat dalam urusan rumah tangga daerah.
Bertolak dari pendpaat dan payung  hokum tersebut di atas maka dalam penyelenggaraan Pemerintahan dan pembangunan di daerah,  terdapat kewajiban pemerintah pusat untuk melakukan desentralisasi sebagian kewenangan atau urusan yang dimilikinya serta adanya keharusan memberikan otonomi luas kepada daerah guna mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sesuai dengan apa yang diamantkan undang-undang tersebut, tentunya dengan tetap berada dalam kerangka Negara kesatuan. Namun dalam prakteknya penyelenggaraan Pemerintahan dan pembangunan daerah terutama pada masa Pemerintahan orde baru penerapan azas dekonsentrasi sangat menonjol dengan mengembangkan system sintralisasi kekuasaan yang lebih memusatkan hak, wewenang, tanggung jawab dan kewajiban sepenuhnya pada pemerintah pusat (desentralisasi administrasi).
Titik berat otonomi pada daerah tingkat II yang telah diatur berdasarkan PP Nomor 45 tahun 1992, termasuk pelaksanaan proyek percontohan otonomi daerah yang telah diterapkan berdasarkan keputusan Mentri Dalam Negeri Nomor 105 Tahun 1995 di 26 Kabupten dari 26 Propinsi, dinilai belum memberikan suatu yang berarti bagi daerah perconothan tersebut, yang disebabkan antara lain oleh penyerahan otonomi itu  m,asih setengah hati, dan pengaruh pemerintah pusta masih sangat kuat dalam praktek penyelenggaraan pemerintah daerah.
Kebijakan sentralisasi kekuasaan telah menyebabkan  pemerintah daerah tidak dapat berperan sebagaimana mestinya, karena hanya berfungsi sebagai pelaksana tugas berdasarkan petunjuk atau nstruksi melalui juklak dan juknis yang datang dari atas tanpa bisa mandiri dalam melakukan urusan rumah tangganya sendiri. Ketidakmandirian pemerintah daerah juga berakibat pada tidak berdayanya masyarakat dalam mengembangkan kreasinya guna menunjang pembangunan di daerah, karena apa yang diterima dan yang diberikan kepada daerah selalu tidak sesuai dengan apa yang diinginkan daerah. Sehingga penerapan  otonomi daerah selama ini tampak seperti top down yang mematikan kreativitas di daerah.
Krisis moneter yang mengguncang kinerja ekonomi secara nsional yang diawali pertengahan tahun 1997, muncul tuntutan amsy daerah, karena pemerintah orde baru dianggap gagal melaksanakan Pemerintahan dan pembangunan sesuai amanat UUD 1945 yakni mensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa di segala bidang.
Keterbelakangan penyelenggaraan pemerintah daerah sangat mencolok pada kurangnya posisi dan perna pemerintah daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya diakibatkan oleh ketidakberdayaan masyarakatnya untuk ikut membangun daerahnya, sehingga ketergantungan kepada pemerintah di atasnya sangat tinggi. Ketergantungan sepihak ini ditambah lengkap dengan ketidakadilan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta keterbelakangan pembangunan di daerah menjadi sumber ketidakpuasan dan ecmeburuan social dari masyarakat daerah, sehingga pemerintah pusat mau tidak mau harus melakukan perubahan mendasar dari system penyelenggaraan Pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi dan otonomi luas yang bertanggungjawab.
Dengan pemberian otonomi daerah secara penuh, sebagai jawaban terhadap kekecewaan pemerintah daerah dan masyarakatnya diharapkan dapat memacu ketertinggalan di daerah pada semua lini kehidupan sehingga akan terwujud masyarakat madani yang demokratis. Walaupun secara yuridis formil otonomi daerah telah menjadi consensus nasional, namun hingga kini masih menimbulkan permaslaahan yang cukup banyak untuk dibiacarakan.
Otonomi di Negara manapun dalam jangka waktu berbeda akan berbeda pula bentuknya. Di Indonesia  otonomi dirumuskan sebagai wewenang yang diberikan kepada suatu daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang telah membawa perubahan besar dan mendasar terhadap system Pemerintahan daerah terutama Kabupaten dan Kota, khususnya yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peranan dan fungsi dewan perwakilan rakyat daerah.    

2.6.  Kerangka Pemikiran               
Organisasi pemerintah Daerah sebagai suatu sistem hendaknya pelayanannya merupakan kombinasi antara service operating system and service delivery system (Loveluck, 1991:14) Peayanan yang menekankan pada service delivery system berarti pemerintahan daerah atau birokasi menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat secara luas. Sedangkan kualitas pelayanannya diukur dari service performance (persepsi manajemen), perceive service (pelayanan yang dirasakan masyarakat) dan perceive service (pelayanan yang diharapkan masyarakat). Untuk bisa memberikan pelayanan yang baik, aparat haruslah dikembangkan motivasi dan kemampuannya. Kegiatan inlah yang disebut pengembangan sumberdaya aparatur sebagaimana yang dikemukakan oleh Bryant dan White yang meliputi “capacity, equity, empowerment and sustainability” (Bryant dan White, 1982: 30).
Dalam pengembangan sumberdaya aparatur dijumpai beberapa model teoritik. Salah satu mode teoritik tersebut adalah model teoritis pengembangan sumberdaya manusia dalam rangka peningkatan kinerja organisasi yang dikemukakan oleh Sluyter (1998:14) Sluyter mengemukakan jalinan hubungan antara variabel pengembangan sumber daya manusia dalam kaitanna dengan peningkatan kinerja organisasi sebagai nampak dalam gambar 1.2. berikut:








Gambar 1.2. Variabel-Variabel Pengembangan Sumberdaya Manusia
Model tersebut  menjelaskan bahwa kinerja organisasi sangat ditentukan oleh variabel internal (motivasi dan kompetensi) dan variabel aksternal (budaya organisasi dan regulasi). Untuk bisa memperoleh pegawai yang  mempunyai motivasi, dan kemampuan yang tinggi diperlukan upaya yang berwujud pengembangan sumberdaya manusia dengan segala dimensinya. Pengembangan sumberdaya manusia akan dapat dilakukan jika ada aturan yang mendukung serta budaya organisasi yang kondusif.
Menurut Hersey and Blandchard, penyelenggaraan tugas pekerjaan administrasi negara yang semakin luas dan rumit menuntut “kemampuan dan kemauan (ability and willingnes) orang-orang untuk memikuul tanggung jawab untuk mengarahkan perilaku mereka sendiri” (Hersey and Blanchard, 1993: 179).
Menganalisis kinerja pemerintah daerah, dilakukan dengan cara mengukur pendekatan model Parasuraman (Dwiyanto, 1995:7) yang terdiri dari dimensi; (1) kualitas pelayanan; (2) responsibility; (3) responsivitas; (4) akuntabilitas. Selain itu digunakan Keputusan Men. PAN No:  KEP/26/M.PAN/2/2004 yang terdiri: (1)  Prosedur pelayanan, yaitu kemudahan terhadap pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur; (2) Persyaratan Pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jelas pelanannya; (3) Kejelasan petugas pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang memberikan pelayanan (nama, jabatan serta kewenangan dan tanggungjawabnya); (4) Kedisiplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan yang berlaku; (5) Tanggung jawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan tanggung jawab petugas dalam menyelenggarakan dan penyelesaian pelayanan; (6) Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan keterampilan yang dimiliki petugas dalam memberikan, menyelesaikan pelayanan kepada masyarakat; (7) Kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan; (8) Keadaan mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak membedakan golongan/status masyarakat yang dilayaninya; (9) Kesopanan dan keterampilan petugas, yaitu sikap  dan perilaku petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta saling menghargai dan menghormati; (10) Kewajaran biaya pelayanan, yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap besarnya biaya yang ditetapkan oleh unit pelayanan; (11) Kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan; (12) Kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan; (13) Kenyamanan  lingkungan, yaitu  kondisi sarana dan rpasarana pelayanan yang bersih, rapi, dan teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman kepada penerima pelayanan; (14) Keamanan pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit penyelenggaraan pelayanan ataupun sarana yang digunakan, sehingga masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap resiko-resiko yang diakibatkan dan pelaksanaan pelayanan.
Seluruh argumentasi dukungan dasar teoritik pengaruh pengembangan sumberdaya aparatur terhadap kinerja pemerintah daerah akan dikaji secara mendalam dengan gambar sebagamana  tertuang pada model kernagka pikir berikut ini:

Kinrja
Pemerintah Daerah
1. Kualitas Pelayanan
2. Responsibilitas
3. Responsivitas
4. Akuntabilitas
 






Kemampuan 
 
                                                                                    


Gambar  1.3 : Kerangka Pemikiran

2.7.  Hipotesis                          
Berdasarkan kerangka pikir dan paradigma penelitian sebagaimana telah diuraikan di atas, maka adapat ditarik hipotesis sebagai kesimpulan sementara dari identifikasi masalah yang telah dikemukakan.
1.      Pengembangan sumberdaya aparatur dengan dimensi yang meliputi motivasi, kemampuan, dan budaya organisasi secara simultan dan secara perseal berpengaruh terhadap kinerja pemerintah daerah.
2.      Di duga bahwa besar pengaruh pengembangan sumberdaya aparatur baik secara kesleuruhan maupun secara dimensional terhadap kinerja pemerintah daerah.  


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1.  Desain Penelitian          
Secara keseluruhan penelitian ini menggunakan metode survei, yaitu penelitian yang mengambil sampel  dari suatu populasi dan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpul data yang pokok (Singarimbun dan Effendi, 1989:3). Sedangkan eksplanasinya, penelitian ini menggunakan model pendekatan sebab-akibat atau penelitian pengaruh dari satu variabel terhadap variabel lainnya (regresi). Model pendekatan penelitian semacam ini, dikategorikan ke dalam penelitian asosiatif yaitu penelitian yang mencari hubungan dan pengaruh antara satu variabel dengan atau terhadap satu atau lebih variabel lainnya (Sugiyono, 1992: 7).
Dalam hal ini, variabel bebas   atau variabel pengaruh (independent variabel) adalah Pengembangan Sumebr Daya Aparatur dengan subvariabelnya Motivasi (XI) kemampuan aparatur (X2) dan budaya organisasi (X3). Sedangkan variabel terikatnya (dependent variabel) adalah kinerja pemerintah daerah (Y).

3.2.  Definisi Operasional dan Operasional Variabel        
Variabel penelitian diklasifikasikan sesuai dengan hipotesis yang diajukan dan diperlihatkan secara structural melalui sebuah paradigma, yang secara diafragmatik menggambarkan hubungan antar variable baik hubungan yang sifatnya korelatif maupun kausal.
Hubungan antar variable yang merupakan hubungan structural antara variable X1, X2, X3, dengan Y secara structural dapat digambarkan melalui sebuah paradigma. Paradigma itu sendiri merupakan model alur piker yang menggambarkan hubungan antara variable yang satu dengan variable yang lainnya. Dari paradigma itu pula selanjutnya suatu hipotesis dapat dirumuskan sebagai kesimpula sementara. Paradigma penelitian ini sebagaimana digambarkan berikut ini:







 
        Gambar 1.4. Struktur Paradigma Penelitian
        Keterangan:
X1       =    motivasi
X2       =    Kemampuan Aparatur
X3       =    Budaya Organisasi
Y         =    Kinerja Pemerintah Daerah
E          =    Variabel-Variabel lain yang berpengaruh terhadap kinerja pemerintah daerah
Selanjutnya variable pengembangan sumberdaya aparatur dikembangkan dari konsep Sluyter yang mengandung 4 (empat dimensi) yakni: motivating, competence, supporting policy dan organizational culture, namun untuk penelitian ini peneliti hanya mengambil  tiga dimensi yakni:  Motivasi, kemampuan aparatur dan budaya organisasi yang secara lebih rinci tampak seperti table berikut:
Tabel  1.  Operasionalisasi Variabel Pengembangan Sumberdaya Aparatur terhadap  Kinerja Pemerintah Daerah
No.
Variabel
Sub Variabel
Indiktor
1.
Pengembangan  Sumebrdaya Aparatur
1. Motvasi
1.  Memiliki etos kerja yang kuat
2.  Memiliki keinginan untuk berpartisipasi
3.  Disiplin untuk melaksanakan tugas
4.  Mengembangkan system insentif yang adil
5.  Menciptakan lingkungan kerja yang kondusif.


2. Kemampuan Aparatur
1. Memiliki pengetahuan yang luas tentang organisasinya
2. Memiliki visi yang jelas
3. Mendasarkan pertimbangan yang rasional dalam setiap keputusan
4. Memiliki kemampuan berfikir masa depan
5. Mengembangkan manajemen partisipatif
6. Memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik
7. Bersedia bekerja sama dengan fihak manapun
8. Memiliki  keterampilan dan keahlian yang cocok dengan bidang tugasnya
9. Mandiri dalam melaksanakan tugas
10.  Memiliki pendidikan tehnis yang cukup memadai


3.  Budaya organisasi
1.    Memilikikesamaan nilai dalam memajukan organisasi
2.    Memiliki semangat korps
3.    Mendorong kearah nilai-nila perbaikan
4.    Menghargai pegawai yang kreatif
5.    Memiliki semua peraturan yang berlaku
6.    Menyesuaikan dengan norma yang berlaku di masyarakat
2.
Kinerja Pemerintah Daerah
1.  Kualitas Pelayanan
1.    Kecepatan
2.    Ketepatan
3.    Kemudahan
4.    Pembiayaan
5.    Akses komunikasi       


2.  Responsibility
1.    Kemampuan SDM
2.    Proses kerja
3.    Jangka waktu
4.    Kecocokan  hasil


3.  Responsivitas
1.    Daya tanggap terhadap kebutuhan
2.    Daya tanggap terhadap keluhan
3.    Daya tanggap terhadap aspirasi


4.  Akuntabilitas
1.    Dana yang dikeluarkan
2.    Tenaga yang dipakai
3.    Sarana dan prasarana
4.    WAktu yang digunakan

3.3.  Populasi dan Teknik Penarikan Sampel        
Populasi penelitian ini adalah seluruh pegawai Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara yang terdiri : (1) Staf DPRD Kota dengan jumlah 23 orang; (2) pegawai harian secretariat DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara dengan jumlah 30 orang dan (3) Anggota Dewan PErwakilan Rakyat Daerah 30 orang, sehingga jumlah populasi secara keseluruhan adalah  83 orang. Mengingat dengan jumlah populasi yang relative kecil, maka dalam penelitian ini keseluruhannya ditetapkan sebagai sample (total sampling).

3.4.  Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data penelitian ini adalah lebih mengandalkan kuesioner. Hal ini sesuai dengan metode yang digunakan. Di samping itu penggunaan kuesioner didasari pertimbangan bahwa responden mempunyai pendidikan menengah ke atas. Dalam penelitian ini data yang telah dikumpulkan distandarisasi. Untuk melengkapi data yang dikumpulkan melalui kuesioner dilengkapi pula dengan observasi, interview dan dokumen agar dapat benar-benar akurat. Kuesioner terdiri atas lima pernyataan dengan jawaban yang bernilai 1 sampai 5 menggunakan skala likert (Sugiyono, 1992: 67) Implikasi penggunaan skala Likert maka pernyataan itu bersifat kontinum antara positif dan negatif, dalam bentuk daftar pertanyaan sebagai berikut:
Alternatif Jawaban
Bobot Nilai
(+)
(-)
SS        :     Sangat Setuju
5
1
S          :     Setuju
4
2
R          :     Ragu
3
3
TS        :     Tidak setuju
2
4
STS      :     Sanga tidak setuju
1
5

Untuk menjamin validitas dan reliabilitas kuesioner penelitian ini, terlebih dahulu akan diuji coba terhadap responden yang bukan responden penelitian. Uji validitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah alat ukur itu benar-benar mengukur variabel yang diteliti, dan uji reliabilitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah alat ukur dalam mengukur suatu gejala pada waktu yang berlainan, konsisten menunjukkan hasil yang sama.
Analisis validitas dilakukan dengan cara mengkorelasikan skor jawaban untuk setiap item dari masing-masing responden uji coba dengan skor total, yaitu jumlah seluruh  skor setiap item. Dalam uji validitas ini ada dua hal yang perlu mendpaat perhatian yakni: (1) Inetrnal Validity, yakni pengertian yang tepat mengenai konsep itu sendiri; (2) Exsternal Validity, yakni pengertian yang tepat sesuai teori dan tidak menyimpang.
Rumus yang digunakan untuk analisis validitas dan reliabilitas, adalah Pearson Product Moment Correlation, sebagai berikut:

Sudjana (1983:42)
Sugiono (1994: 143)
 
        

Dimana :
r           =    Koefisien vaiditas dan reliabilitas item yang dicari
X         =    Skor yang diperoleh subjek dalam setiap item
Y         =    Skor total yang diperoleh subjek dari seluruh ite
n          =    Jumlah subjek                             
Untuk mengetahui apakah instruen (kuesioner) penelitian yang telah diuji coba dapat dikatakan valid dan reliabel, maka pengujian didasarkan pada standar signifikan masing-masing koefisien korelasi. Dengan dasar itu, dilakukan pengujian validitas yang hasilnya menunjukkan adanya korelasi yang tidak dapat diabaikan antara skor setiap item dengan skor total.                        

3.5.  Teknik Analisa Data
Analisis data yang digunakan dalam pengujian hipotesis penelitian ini dilakukan pendekatan kuantitatif yang akan mengungkapkan besarnya pengaruh suatu variabel terhadap variabel lainnya, baik pengaruh bersifat langsung maupun tidak langsung.
Uji statistik yang dipergunakan adalah analisi jalur path-analysis). Besarnya pengaruh dari suatu variabel bebas ke variabel terikat dinyatakan oleh besarnya koefisien jalur (Pxij).
Sebelum dilakukan analisis jalur, maka data yang diperoleh dari hasil penelitian, terlbih daulu ditransformasi ke interval melalui teknik summeted rating skale. Penggunaan teknik tersebut, karena kuesioner  yang disusun menggunakan skala Likert. Penggunaan analisis jalur, adalah dimaksudkan untuk mengetahui besar pengaruh setiap variabel bebas terhadap variabel terikat, baik pengaruh langsung maupun tidak langsung. Sebelum dilakukan analisis data untuk menguji hipotesis penelitian, akan diuji distribusi data apakah normal atau tidak, dengan menggunakan teknik Lillefors. Untuk menghitung koefisien  jalur secara dimensional dan keseluruhan, digunakan rumus Rasjid, (1997: 8) sebagai berikut:
1.     Menghitung besar pengaruh X1, X2 ... Xn terhadap Y secara dimensional digunakan rumus:
1.   Menghitung besar pengaruh X1, X2 ... Xn terhadap Y secara keseluruhan digunakan rumus:
R2Y(X1, X2 ...Xn) = (PyX1  PyX2  PX3Xn)
2.   Menghitung pengaruh variabel lain selain X1, X2 ... Xn terhadap Y, digunakan rumus:
Py      =   
Untuk memudahkan perhitungan rumus-rumus tersebut digunakan perangkat lunak Soft Ware dengan program SPSS for Windows dan Path analysis.
Untuk analisis kualitatif dilakukan dengan menyusun, penafsiran yang dilakukan dengan terlebih dhaulu melakukan analisis silang terhadap data yang diperoleh melalui pendekatan kuantitatif dengan informasi yang diperoleh melalui pendekatan kualitatif, di mana data tersebut telah terlebih dahulu melalui proses pengujian masing-masing.

3.6.  Rancangan Uji Hipotesis
1.   Menguji keberartian koefisien jalur secara keseluruhan digunakan rumus:
        Sitepu (1994:59)

Hipotesis yang diuji adalah:
HO Pyx1 +  Pyx2 … Pyxn ≤ 0
HA Sekurang-kurangnya ada sebuah Px > 0
Kriteria pengujian adalah “Tolak Ho (Tolak bahwa pengaruh keseluruhan tidak berarti) jika F hitung lebih besar daripada F table “ dengan dk = n-k-1, dan peluang a = 0,05.
 2.  Menguji koefisien jalur secara dimensional digunakan rumus:
     Rasjid (1997 : 10)
Hipotesis yang diujikan adalah:
H0Pyxi ≤ 0
HAPyxi > 0
Kriteria pengujian adalah :  Tolak Ho (tolak bahwa koefisien jalur secara dimensional tidak berarti) jika t hitung lebih besar daripada t table” dengan dk = n-k-1 dan peluang  a = 0,05.

3.7.  Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan PAda Kantor Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara, dengan mengangkat maslah pengaruh pengembangan sumberdaya aparatur terhadap kinerja pemerintah daerah.
Pemilihan lokasi ini, di dasarkan pada beberapa pertimbangan:
1.   Pengetahuan dasar tentang adanya fenomena dan masalah yang layak diteliti, merupakan salah satu pertimbangan bagi peneliti dalam memilih Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara.
2.   Masih kurangnya penelitian yang pernah dilakukan, khususnya menyangkut pengembangan sumberdaya aparatur di daerah ini, maka dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pikiran bagi pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara.

3.8.  Jadwal Penelitian
Penelitian ini akan di lakukan pada Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara, 


DAFTAR PUSTAKA
A.  Buku
Abdul Wahab. Solichin, 1991. Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksawa, Jakarta.

Amstrong, Michael, 1994. Performance Management, Kugan Pentoville, London.

Branen, Julia, 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Davis, Keith & Jhon W. Newtron, 1993. Organizational Behavior: Human Behavior at Work, Nineth Edition, McGraw-Hill Inc, New York.

Dwiyanto, Agus, 2002. Reformasi Birokrasi Publik Di Indonesia, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Emmerji, Louis, 1994. Decentraization The Territorial Dimensions of the State, Sage Publication, London.

Etzioni, Amitai, 1992. Organisasi-organisasi Modern, Terjemahan Suryatim, Penerbit UI, Jakarta.

Gibson, James L., John Ivancevich, James H. Donnelly, Jr., 1997. Organizations, Ricard D. Irwin, Chicago.

Handoko, Hani T, 1995. Manajemen Personalia dan Sumberdaya Manusia, BPFE UGM, Yogyakarta.

Hersey, Paul and Kenneth H. Blanchard, 1993. Management of Organizational Behavior: Utilizing Human Resources, Sixth Edition, Prentice-Hall International Edition, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey.

Klinger, E. Donald and John Nalbandian, 1995. Public Personel Manajemen: Contents and Strategies, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.

Koswara, E, 1986. Motivasi, Teori dan Penelitiannya, Angkasa, Bandung.

Levine, Charles H, B. Guy Peters and Frank J. Thompson, 1990. Public Administration Challnegers Choices, Consequences, Scott, Foresman Little. Glenview, Ilinois, USA.

Lovelock, Cristopher H, 1991. Service Marketing, Secon Edition, Prentice-Hall, New Jersey.

Luthans, Fred, 1989. Organizational Behavior, A Modern Behavioral Approach to Management, Mc Graw Hill Book Company, San Fransisco.

Mangkuparwiro, TB Syafri, 2002. MAnajemen Sumberdaya Manusia, BPFEPUGM, Yogyakarta.

Martoyo, Susilo, 2002. Manajemen Sumberdaya Manusia, BPFE-UGM, Yogayakarta.

Maslow, Abraham H, 1974. Motivation and Personality, Harper & Brother, New York.

Mustopadidjaja, 1988. “Paradigma-paradigma Pembangunan Administrasi Negara dan Manajemen Pembangunan” Makalah dalam Temu  Kaji Posisi dan Peran Ilmu Administrasi dan Manajemen dalam Pembangunan, LAN, Jakarta.

Nugroho, Heru, 2001. Teori Kritis dan relevansinya Bagi Pembangunan, PKK UGM, Yogyakarta.

Osborne David and Ted Gaebler, 1992. Reinventing Government: Haw The Enterpreneurial Sprit is Transforming The Public Sector, Adision Wesley Publishing Company Inc, Massachusetts.

Peters, Tom, 1993. Creating A Government That Works Better and Cost Less: The Report og The National Performance Review, Penguin Books USA Inc, New York.

Prijodarminto, Soegeng, 1993. Pegawai Negeri Sipil, Posisi, Pengelolaan dan Pembinaan, Pradnya Paramita, Jakarta.

Rasyid, Harun Al., 1990. Statistika Sosial, PPS Unpad, Bandung.

Santoso, Priyo Budi, 1995. Birokrasi Pemerintah Orde Baru: PErspektif Kultural dan Struktural, Cet Kedua, PT Raja GRafindo PErsada, Jakarta.

Siagian, Sondang Paian, 1994. Patologi Birokrasi: Analisis Identifikasi dan Terapinya, Ghalia Indonesia, Jakarta.

-----------------, 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara, Jakarta.

Simamora, Henry, 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara, Jakarta.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi (ed), 1989 dalam Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta.

Sluyter, Gary V. 1998. Improving Organizational Performance. A Practical Guidebook for The Human Service Field, Sage Publications, London.

Steward, Alien Mitchell, 1994. Empowering People. Pitman Publishing, London.

Thoha. Miftah dan Dharma, 1999. Menyoal Birokrasi Publik, Balai Pustaka, Jakarta.

Tjokroamidjojo, Bintoro, 1995. Pembangunan Indonesia, Tantangan-Tantangan Dalam Tataran Nasional dan Globa Lembaga Administrasi Negara, Jakarta.

-------------, 1995. Pengantar Administrasi Pembangunan, Cetakan Ketujuhbelas, LP3ES Jakarta.

Vroom, Victor H, 1964. Work and Motivation, John Willy & Sons, New York.


B.  Makalah, Jurnal, Majalah, Koran, Laporan Penelitian 

Atmosudirjo, Prajajudi, 1973. “Pendidikan Administrasi Negara di Indonesia”. Administrator, No. 9.

Darwin Muhadjir, 1995. “Implementasi Kebijakan” Makalah dalam Penelitian Analisis Kebijakan Sosial, Pusat Penelitian Kependudukan UGM, Yogyakarta.

Djojowadono, Soempomo, 1974. PEran Ilmu Administrasi dalam Pembangunan, Makalah dalam Simposium ILmu Administrasi, Malang.

Gomes, J.B. And Park SH, 1997 “Interorganizational Links”. Academy of Management Jurnal,  vol 40 (3) pp 673-696.

Horwitz, Frank M. and Mark A. Neville, 1996. Organization Design for service Ecellence: A Review of the Literature, Human Resources Management, Winter 1996, Vol. 35, Number 4.

Tjiptoherjoanto, Prijono, 1996. Kualitas SDM di Sektor Pemerintahan, MAnajemen pembangunan, No. 17/V/Oktober.

Ulrich, Dove, 1998. “Inteectual Capital = Competence X Commitment”, Sloan Management Review, Winter Edition.