Sabtu, 29 Januari 2011

makalah : ETIKA BIROKRASI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.            Latar Belakang
Dalam membahas Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tanggapan kesusilaan atau etis, yaitu sama halnya dengan berbicara moral (mores). Manusia disebut etis, ialah manusia secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya dalam rangka asas keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya, antara rohani dengan jasmaninya, dan antara sebagai makhluk berdiri sendiri dengan penciptanya. Termasuk di dalamnya membahas nilai­-nilai atau norma-norma yang dikaitkan dengan etika, terdapat dua macam etika sebagai berikut:
1.      Etika Deskriptif
Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya Etika deskriptif tersebut berbicara mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya. Da-pat disimpulkan bahwa tentang kenyataan dalam penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tertentu memungkinkan manusia dapat bertin­dak secara etis.
2.        Etika Normatif
Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi Etika Normatif merupakan norma-norma yang da­pat menuntun agar manusia bertindak secara baik dan meng­hindarkan hal-hal yang buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat.

                                                                         BAB II
PEMBAHASAN

2.1.        Birokrasi Dalam Pelayanan Publik
Manusia modern, menghabiskan hidupnya dalam organisasi. Organisasi menjadi pemimpin yang tanpa disadari menjadi lingkungan yang selama ini kita huni. Sangat tidak mengherankan jika manusia kemudian disebut dalam (Presthus,1962) sebagai Organizational Society. Dalam konteks kenegaraan, kehidupan pengorganisasian masyarakat dalam wilayah negara, pengorganisasiannya disebut birokrasi pemerintahan. Dalam era demokratisasi, dilema dalam hubungan antara penjabaran nilai-nilai demokrasi dan realitas manajemen organisasi birokrasi di masyarakat menjadi hal yangpelik, rumit serta problematik. Realitas sosial masyarakat yang dilahirkan serba tidak teratur dan transisi, yang terdiri dari berbagai kelompok-kelompok majemuk, tampil dengan topeng liberal demokrasi yang menuntut lahirnya sebuah citra perfect dari birokrasi yang berwujud demokratis dalam perspektifnya (kebutuhannya, baca). Mentalitas state apparatus Indonesia, yang belum menampakkan kongkretisasiperwujudan nilai-nilai demokrasi sistem pemerintahan yang menjunjung nilai-nilai kesejajaran yang digerakkan visi dan misi, belum menunjukkan tanda-tanda perwujudan aksinya. Kesulitan menerjemahkan kerangka baru (aturan) dalam aktivitasnya, karena rule driven penggeraknya belum berubah secara total. Kenyataan ini melahirkan keraguraguan dalam pengimplementasiannya. Fenomena ini yang dialami aparat pemerintah dalam menjalankan tugasnya saat ini, disamping sangat rendahnya motivasi, kemauan kerja serta inisiatip aparat birokrasi, karena berbagai keterbatasan yang dimilikinya. Mencermati berbagai fenomena yang belakangan ini muncul di kota Palu tentang problematika pelayanan publik (KTP,KK dll) yang mengalami gugatan dari komunitas masyarakat yang sempat hangat dimedia daerah, merupakan fenomena umum yang terjadi di Indonesia. Kondisi tersebut, seperti yang ditunjukkan oleh hasil survey dari PSKK UGM 2001, bahwa umumnya pelayanan pulik di Indonesia adalah masih buruk.Tetapi dengan melihat angka distribusi prosentase kegiatan ekonomi di daerah ini (Palu) yang didominasi kegiatan Jasa. Semestinya menjadi pertanda bahwa masyarakat telah terbiasa memahami esensi sebuah pelayanan, baik dari kegiatan jasa atau jenis lain seperti perdagangan. Sehingga sangat naïf bagi pemerintah untuk tidak melihat potensi ini, yang mestinya dijadikan kekuatan bagi pemerintah yang mesti dikembangkan, mengingat bahwa keterkaitan antara berbagai Stoke Holder dalam menciptakan pembangunan yang sinergis didaerah ini, menuntut keterlibatan berbagai komponen yaitu Birokrasi, Civil Society Dan Privat Sector. Survey Pelayanan Publik Tahun 2001 pada 3 (tiga) tempat sebagai sample wilayah Indonesia yaitu Sul-Sel, Sumbar dan Yogyakarta oleh PSKK UGM (Pusat Studi Kependudukan Dan Kebijakan), terlihat 59% responden penggunan jasa pelayanan public menyatakan kinerja pelayanan publik adalah buruk. Kesimpulan dari penelitian tersebut mengatakan bahwa hal itu terjadi karena pelayanan publik masih dilaksanakan dan digerakkan oleh peraturan (rule driven) serta anggaran, dan bukan oleh misi. Konsep baru saat ini, merupakan bentuk modernizing birokrasi yang mestinya telah dikembangkan di Indonesia mengingat telah besarnya anggaran pelatihan, seminar, kursus, diklat untuk upaya peningkatan kinerja pelayanan publik yang berorientasi kepada kepuasan masyarakat diseluruh Indonesia, dari pusat hingga pelosok desa. Tetapi mengapa belum berubah, yang mengalami perubahan adalah wajah teknis administratip yang kian rumit, sementara perilaku birokrasi sebagai driven utama tidak perubahan. Paternalisme birokrasi, kondisi dimana bawahan selalu takut melampaui wewenang pimpinan atau atasannya. Sehingga tidak berbeda dengan perilaku birokrasi orde baru, dimana bawahan tergantung kepada pimpinan. Kondisi itu, tidak melahirkan diskresi dalam birokrasi yaitu kebebasan menerjemahkan situasi yang dihadapi tiap aparat sesuatu profesi dan tugasnya dalam mengambil keputusan sendiri dan tidak bersandar pada juklak dan juknis yang kaku. Adanya ketergantungan, menyebabkan tidak jalannya mekanisme sistem pelayanan publik sebagai salah satu tugas aparat pemerintah sehingga menciptakan inefisiensi birokrasi dalam merespons kebutuhan pengguna jasa. Mengapa masyarakat tidak melakukan sebuah Komplain atau counter attack atas fenomena yang merugikan ini. Inefisiensi birokrasi merupakan penyakit birokrasi yang sulit diselesaikan. Penyebab sulitnya melaksanakan fungsi pelayanan dan pengembangan daerah karena beberapa hal;
1. Pertumbuhan penduduk,
2. Inflasi,
 3. Meningkatnya harapan akan kualitas pelayanan,
 4. Sumber pendapatan daerah yang tidak memadai rentangnya dengan kebutuhan,
5. Secara ril nilai pendapatan semakin turun,
6. Kuatnya kontrol pusat terhadap upaya mencari sumber-sumber pendapatan lain,
 7. Ketidak seimbangan antara fungsi pemerintah daerah dan sumber dana.
Dari 7 (tujuh) hal diatas pada prinsipnya hanya satu, yaitu keterbatasan dana daerah dalam memenuhi ekspektasi masyarakat dalam pelayanan publik. Sebenarnya terdapat alternative yang dapat dipilih untuk mewujudkan upaya menutupi keterbatasan diatas dengan:
1. Menghapuskan pengeluaran yang tidak urgen,
 2. Mencari alternative biaya efektive dalam pelayanan jasa,
 3. Memprivatisasi unit kegiatan tertentu,
4. Menjual aktiva yang berlebihan,
5. Mengefektifkan retribusi dan pendapatan dari pajak dar kebocoran,
6. Menaikkan tarif pajak,
 7. Menggalang partisipasi masyarakat,
8. Mengidentifikasi jenis pajak baru,
 9. Bagi hasil pajak,
10. Pinjaman dari pihak ketiga bagi usaha-usaha daerah yang produktive secara professional. Selain inefisiensi diatas, banyak kegiatan pemerintah bukan didorong untuk menciptakan program produktif untuk mendukung sistem pemerintahan mandiri dalam keuangan, dimana dalam konsep reinventing government yang dijadikan sebagai pola umum acuan kehidupan otonomi daerah dalam menciptakan pelayanan publik yang baik (good governance) tidak diimplementasikan. Akibatnya tercipta inefisiensi anggaran, penyebabnya karena daerah dibebani biaya non-produktif dari program ideologis masa lalu ataupun baru sebagai refleksi penciptaan identitas diri daerah. Kebijakan investasi, lebih sebagai simbolisasi ‘penanda’ daerah dalam lokus status atau gengsi. Bahkan birokrasi menciptakan unit usaha yang menjadi competitor masyarakat yang memiliki modal terbatas. Untuk mengeksiskan pengakuan suatu daerah seperti wilayah pesisir, yang dikembangkan secara “instan” adalah, aspek terkait laut seperti perikanan dll tanpa perhitungan aspek keberlanjutan baik secara ekonomi, sosial, SDM, manajemen dll. Kebijakan ini masih dipertahankan dan diciptakan, karena pola latah birokrasi di Indonesia. Kegiatan pelayanan publik mestinya sesuai dengan Local Good Governance Index (LGGI) yang digunakan saat ini dalam pengukuran kinerja sistem pemerintahan daerah sebagai wujud efektifitas dan efisiensi, terutama untuk anggaran daerah yang akuntabel. Masyarakat mendapat respons Advokasi nilai atas pelayanan yang diterimanya dari kelompok-kelompok intelektual yang dipengaruhi lingkungan pendidikan, NGO, civil society yang menjadi agent demokrasi liberal dalam masyarakat. Dilema yang ditimbulkan adalah keinginan mengimplementasikan paradigma pelayanan secara total atas masyarakat sesuai tuntutan demokratisasi. Sementara birokrasi diperhadapkan kepada keterbatasan supra dan infra struktur seperti yang digambarkan diatas. Keadaan ini melahirkan budaya transisi dari birokrasi Indonesia. Birokrasi kekinian (Warsito Utomo,1996) mestinya bertumpu pada ACE (Alignment, Creativity And Empowerment) sehingga komponen dalam struktur dan system birokrasi serta masyarakatpun harus berubah, tidak lagi mengedepankan kepada egosentrisme lokalistik yang didasarkan pada arogansi baik dari tataran sosial maupun material. Yaitu masih kentalnya masyarakat Indonesia utamanya kalangan tertentu, yang terbiasa dengan kemudahan sehingga melupakan aspek komunitarian yang menjadi tangung jawab penengelolaan organisasi pelayanan publik. Penting diketahui bahwa prinsip pengelolaan manajemen pelayanan demokratis oleh Giddens dalam Third Way dikatakan “tidak ada hak tanpa kewajiban”. Untuk itu dibutuhkan sebuah tataran teoritik yang diharapkan dapat menghasilkan kesadaran 5 F yaitu fast, focus, flexible, friendly and fund. Pada kondisi learning organization seperti inilah birokrasi merupakan sebuah institusi yang memberdayakan masyarakat. 1 Staf Pengajar Pada Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP UNTAD

2.2.       Etika Pertanggungjawaban, Moralitas dan Spriritualitas
Kita mungkin seringkali mendengar, atau bahkan menggunakan, istilah tanggungjawab". Akan tetapi apakah ia sesungguhnya di benak kita? Adakah ia kita pandang sebagai sesuatu yang menyertai pelaksanaan suatu tindakan atau perbuatan, penunaian suatu kewajiban, suatu tugas, padamana ia memang umumnyadikaitkan?
Di dalam kata bentukan itu sebetulnya juga terkandung "beban". Ketika kita mengerjakan sesuatu, maka "beban" tanggungjawab atas baik-buruk, benar-salah dari apa yang kita kerjakan itu ada di pundak kita. Kalaupun dalam suatu kerja-kelompok ada sosok figur "penanggungjawab", maka ia hanya bertanggungjawab secara umum saja. Pelaksanaan dari bidang kerja yang menjadi tugas masing-masing personil dari kelompok kerja itu, tetap menjadi tangggungjawab masing-masing, yang harus ia pertangungjawabkan lagi kepada si penanggungjawab tadi. Apa yang hendak saya katakan disini adalah, apapun yang kita kerjakan adalah tangungjawab kita. Sebagai manusia dewasa, orang yang bertangungjawab, tidaklah pantas kita lari dari tanggungjawab serupa itu.
Dalam Hukum Karma, Hukum Kausalitas Universal, apa yang kita perbuat merupakan sebab yang akan berakibat atau merupakan aksi yang mengundang hadirnya reaksi. Ketika sebab telah diciptakan, maka si pencipta sebab seharusnya bertanggungjawab atas akibat yang mengikutinya. Inilah kunci keterkaitan langsung antara Hukum Sebab-Akibat dengan pertanggungjawaban itu. Selama sebuah perbuatan masih disertai oleh si pelaku perbuatan, maka selama itu pula hasil perbuatan harus ada yang menanggungnya. Sebagai si pelaku, seseorang tidak pernah bisa lepas dari hasil dari kelakuannya. Si pelaku inilah yang, mau tak mau, harus bertanggungjawab atas setiap perbuatannya.

2.3.            Tanggungjawab dan Kemanusiaan
Ketika kita mengakui keberadaan kita sebagai manusia, kitapun seharusnya menyadari tanggungjawab kemanusiaan, tanggungjawab kepada manusia, yang melekat padanya. Belumlah pantas bila kita mengaku sebagai manusia, namun masih berprilaku layaknya binatang yang tak beradab. Pengakuan, pengklaiman selalu harus disertai kelayakan. Anda tidak akan mengklaim sesuatu yang tidak atau belum layak untuk Anda. Anda hanya layak mengklaim diri sebagai manusia dan minta diperlakukan layaknya manusia, bilamana Anda memang benar-benar menunjukkan diri sebagai beradab layaknya manusia. Sementara kebiadaban identik dengan kebinatangan, maka keberadaban identik dengan kemanusiaan. Sebagai manusia, kita punya "tanggungjawab-moril" untuk menganut faham kemanusiaan dan berprilaku, berpola ucap, berpola pikir layaknya manusia. Tanggungjawab-moril ini melekat dengan keberadaan kita sebagai manusia. Ada yang mempersamakan "tanggungjawab-moril" dengan "beban-moril". Akan tetapi, ketika kita menyadari semua ini, ketika kita menyadari tanggungjawab-moril kita, apakah untuk bertindak manusiawi merupakan suatu beban bagi kita?
Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah ha-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak ? Peter Singer, filusf kontemporer dari Australia menilai kata etika dan moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya secara tertukar-tukar. Berbicara mengenai manusia dan etika, kita mengetahui bahwa di lingkungan kita terdapat bermacam-macam karakter orang yang berbeda-beda. Dalam konteks keamanan, orang-orang yang membuat kekacauan di tempat yang tidak berhubungan dengan mereka disebut intruder. Ada dua macam intruder, yaitu:
  1. Passive intruder, intruder yang hanya ingin membaca berkas yang tidak boleh mereka baca.
  2. Active intruder, Lebih berbahaya dari passive intruder. Mereka ingin membuat perubahan yang tidak diizinkan (unauthorized) pada data.
Ketika merancang sebuah sistem yang aman terhadap intruder, penting untuk mengetahui sistem tersebut akan dilindungi dari intruder macam apa. Empat contoh kategori:
1. Keingintahuan seseorang tentang hal-hal pribadi orang lain.
2. Penyusupan oleh orang-orang dalam.
3. Keinginan untuk mendapatkan uang.
4. Espionase komersial atau militer.
Menurut pendapat saya pribadi etika dan moral adalah suatu peraturan tak tertulis yang menunjukan martabat kita sebagai manusia. Dan jika ada orang yang melanggarnya mungkin hanya sebuah rasa penasaran yang membuat mereka melanggarnya atau hanyalah sebuah rasa iseng, tetapi ada juga yang mendapat uang jika melanggarnya karena mereka mempunyai hidup yang sulit dan hanya itu satu-satunya jalan untuk menyambung hidup karena itu kita haruslah berpikiran terbuka dalam menghadapi masalah ini, sebab semua orang mempunyai alasan-alasannya masing-masing. Etika atau filsafat moral merupakan bagian teoritis dari filsafat. Filsafat (baca: etika) teoritis ini membicarakan atau menyoal akar keberadaan sesuatu. Dalam pada itu, apa yang dimaksud dengan filsafat moral atau sebut saja etika, sejatinya merupakan suatu bidang keilmuan yang bersifat khusus sebagaimana yang disebut Magnis sebagai “einzelwissen schaften” (Suseno,2003: 10) dimana topik pembahasannya adalah tema- tema seputar hal-hal atau ideal- ideal yang normatif. Berkenaan dengan itu, apa yang dimaksud dengan etika politik merupakan suatu bagian ilmu politik yang bersifat khusus dan memiliki kekhasannya sendiri sebagaimana ilmu-ilmu selainnya. Apa yang dimaksud dengan etika politik ialah suatu disiplin ilmu yang bersifat teoritis dan juga normatif. Saya katakana demikian sebab memang dalam kapasitasnya sebagai ilmu teoritis, etika politik hanya bermain pada bidang- bidang yang menyoal hal-ha yang berkenaan dengan politik dalam bingkai normativisme etika.Karakter demikian itu merupakan bagian inheren dan juga immanen dalam diri etika politik sebab memang ia berada dalam ranah normativisme etika yang berbicara dalam kerangka layak dan atau tidak layak, bukan dalam bingkai benar dan atau salah. Artinya bahwa sebagai cabang ilmu pengetahuan, etika politik membahas tentang apa yang seharusnya, apa yang layak, dan apa yang semestinya dilakukan berkenaan dengan dunia politik. Diantara pembahasan pokok yang diangkat ialah perrihal otoritas. Dalam etika politik ,otoritas dimaknai sebagai suatu kewenangan yang terlembaga. Selain itu etika poitik juga mengangkat pembahasan perihal asal muasal kedatangan otoritas tersebut.
Dalam hal ini, kita mengenal istilah legitimasi kekuasaan, yang dimaksud adalah pembahasan seputar dari mana datangnya hak kuasa satu phak atas pihak lain dan apa alasan yang melatari sehingga lahir pengakuan terhadap kekuasaan tersebut. Dalam kajian etika politik, terdapat beragam tipologi legitimasi kekuasaan. Ada legitimasi religius kekuasaan, yakni suatu konsep tentang penerimaan kekuasaan satu pihak terhadap pihak lain atas dasar doktrin religiusitas yang bersifat devine. Magnis meliat bahwa kelemahan dari teori ini adalah rawannya terjadi ”kebocoran” dengan mengklaim bahwa apapun yang dilakukan penguasa merupakan ”mandat langit” sehingga ketika terjadi kesalahan pun sang penguasa tidak berkewajiban menyerahkan pertanggungjawaban (Suseno,2003:48). Menurut saya, ini sangat merugikan bagi pihak yang berada dibawah kekuasaan sebab apapun yang dilakukan penguasa adalah suatu hal yang tak boleh dipertanyakan pertanggungjawabannya, sehingga rawan terjadi malpraktik kekuasaan. Otoritas berubah menjadi otoritarianisme atas nama mandat langit dimana penguasa mengklaim dirinya sebagai zilalillah fil ardh (bayang-bayang Tuhan di bumi). Pada kesempatan ini saya akan mengetengahkan pandangan Ibn Taymiyyah berkenaan dengan tema etika politik yang mengerucut pada pembahasan seputar legitimasi kekuasaan dalam panadangan Ibn Taymiyyah yang juga merupakan konsep pemikiran politik beliau tentang dasar pendirian suatu negara.
2.4.       Pemikiran politik
Dalam peta pemikiran Islam, Ibn Taymiyyah adalah tokoh pemikir yang digolongkan kedalam kategori fundamentalis. Dalam hal pemikiran keagamaan, pola pemikiran beliau yang bercorak rigid dalam menafsirkan ajaran agama yang tertuang dalam teks-teks suci menunjukkan bahwa beliau ialah tokoh yang merupakan representasi kalangan fundamentalis literal (Isfunlit, meminjam istilah Haidar Bagir) atau skripturalis. Kategorisasi ini benar ketika kita berbicara pemikiran Ibn Taymiyyah dalam hal-hal yang berkenaan dengan doktrin keagamaan semisal fiqh, aqidah, dan lain sebagainya. Namun lain halnya ketika kita berbicara pemikiran beliau dalam domain sosial politik. Dalam ranah kajian ini, beliau tampak sangat ”sekuler”. Namun uniknya sekularitas Ibn Taymiyyah ini justeru lahir dari rahim fundamentalisme literal yang dianutnya, bukan dari liberalisme.Artinya bahwa pandangan Ibn Taymiyyah dalam bidang politik yang tampak bercorak sekuler tersebut lahir dari pemahaman beliau terhadap teks suci yang beliau taafsirkan secara rigid. Dimana letak sekularitas Ibn Taymiyyah? Dalam hal pendirian negara, berbeda dengan pandangan fundamentalis lainnya, Ibn Taymiyyah beranggapan bahwa tidak perlu didirikan negara Islam. Artinya kalau toh pada gilirannya ada sebuah negara Islam yang berdiri, maka itu merupakan buah dinamika sosial politik yang menghendaki negara tersebut berdiri, bukan merupakan hasil dogma agama. Sebab dalam kacamata Ibn Taymiyyah, tidak ada satu nash pun yang menyuruh mendirikan negara Islam (lihat.Khan,2001:69). Dalam karyanya, Qamaruddin Khan menukil adanya anggapan bahwa terdapat kemiripan antara konsep Ibn Taymiyyah dengan paham politik kaum Khawarij yang cenderung pada paham anarkisme(tanpa negara).

2.5.       Legitimasi Kekuasaan
Di awal pembahasan telah kita singgung sedikit tentang legitimasi kekuasaan. Kekuasaan dapat diartikan sebagai suatu kemampuan unuk mempengaruhi dan menerapkan apa yang kita inginkan atas pihak lain. Sedangkan legitimasi merupakan suatu pembenaran atau alas an penerimaan, dalam hal ini legitimasi kekuasaan dapat diartikan sebagai suatu alasan atau pembenaran penerimaan suatu pihak yang dikuasai atas kekuasaan pihak penguasa sehingga dalam relasinya kekuasaan tersebut legitimate. Bentuk dari legitimasi kekuasaan ini beragam, sebagaimana telah saya singgung di awal bahwa sedikitnya terdapat dua basis utama legitimasi kekuasaan yakni legitimasi religius dan legitimasi etis yang terbagi lagi kedalam bentuk yang lebih spesifik semisal legitimasi moral etis, legitimasi tradisional, rasional legal, dan lain sebagainya.
Konsep legitimasi religius kekuasaan sebagaimana para fundamentalis lain, dalam pandangan kalangan fundamentalis, penguasa kerap diposisikan sebagai wakil Tuhan di bumi. Ini berarti bahwa kekuasaannya merupakan representasi Ilahiyah yang mengemban tugas- tugas langit. Dalam kapasitas ini, penguasa tidak bisa dibantah, sehingga besar kemungkinan terjadi pembelokan otoritas dari kekuasaan yang suci menjadi otoritarianisme penguasa despotik yang selalu mengatasnamakan Tuhan dalam setiap kebijakannya. Dalam posisi ini, rakyat tidak punya posisi tawar untuk mempertanyakan pertanggungjawaban atas kekuasaan tersebut. Ini disebabkan karena memang konsep legitimasi model religius tersebut tidak mengharuskan adanya pertanggung jawaban penguasa atas rakyatnya.
Mengenai hal yang berkenaan dengan legitimasi ini, pandangan  bahwa dasar legitimasi kekuasaan dalam suatu pemerintahan atau negara bukanlah doktrin religiusitas. Sebab dalam legitimasi tersebut timbul dari bawah (bottom up). Kesadaran dan pengakuan ini timbul disebabkan oleh faktor sosial, yakni rakyat merasakan dampak positif dari kekuasaan tersebut dalam bentuk keadaan kehidupan sosial rakyat yang diuntungkan. Singkatnya, semakin rakyat merasa disejahterakan, maka semakin mereka tidak berkeberatan untuk mengakui kekuasaan tersebut menunjukkan bahwa tanggung jawab sosial harus ada dan karenanya pemikirannya lebih cenderung pada legitimasi etis moral kekuasaan yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat.

2.6.       Birokrasi
Kata orang sih, Birokrasi itu suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah daripada tingkat atas. Biasanya birokrasi itu ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer. Nah, organisasi yang dimaksud disini memiliki aturan dan prosedur ketat sehingga cenderung kurang fleksibel. Ciri lainnya terdapat banyak formulir yang harus dilengkapi dan pendelegasian wewenang harus dilakukan sesuai dengan hirarki kekuasaan. Birokrasi merupakan suatu tipe atau model organisasi yang sangat menekankan pada rasionalitas, ketertiban dan efisiensi. Makanya model kayak gini ini, dianggap tepat untuk organisasi besar kayak pemerintahan. Birokrasi pun jadi identik dengan pemerintah. Atau pemerintah yang jadi identik dengan birokrasi .


                                         BAB III
                                       PENUTUP

3.1.   Kesimpulan
Kalau Pelayanan Publik, diartikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang maupun jasa yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah (baik pusat, daerah, BUMN maupun BUMD) dalam upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
           Pelayanan Publik ini merupakan salah satu fungsi pokok pemerintahan selain fungsi pengaturan. Fungsi pelayanan publik ini mengacu pada konsep Negara kesejahteraan, bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, wujudnya berupa pelayanan kepada seluruh masyarakat dalam semua lapisan. Oleh sebab itulah, birokrasi menyelenggarakan pelayanan umum., dan PNS dikenal sebagai pelayan (abdi) masyarakat.
Etika pelayanan publik berkaitan dengan prinsip-prinsip moral dalam menjalankan tanggung jawab peran aparatur birokrasi pemerintahan dalam menyelenggarakan pelayanan bagi kepentingan publik. Yang jadi fokus utamanya adalah apakah aparatur pelayanan publik, pegawai negeri atau birokrasi mengambil keputusan dan berperilaku yang dapat dibenarkan dari sudut pandang etika. Fokus ini akan bermuara pada tujuan untuk mewujudkan integritas dalam pelayanan publik. beberapa hal yang jadi alasan tentang relevansi dan pentingnya etika dalam birokrasi pelayanan publik ;
a.       Etika dalam kehidupan yang baik : pelayanan publik adalah kehidupan yang penting bagi masyarakat, jadi sudah selayaknya jika dimensi etika dimasukkan dalam pertimbangan dan keputusan dalam birokrasi pelayanan public
b.      kekuasaan birokrasi : Birokrasi berwenang membuat sekaligus melaksanakan kebijakan publik dan etika diperlukan sebagai panduan dalam mengambil keputusan sekaligus menilai baik tidaknya keputusan tersebut.
c.       Kewibawaan pemerintah : kebersihan dan kewibawaan ini pada dasarnya hanya dapat diperoleh jika birokrasi bebas dari perilaku negatif dan tercela.
d.      Hak dan kepatuhan warga Negara : Setiap warga Negara memang berhak atas pelayanan, tapi warga Negara yang baik harus patuh pada aturan.
e.       Reformasi penyelenggaraan pemerintah : Pegawai Negeri dituntut untuk memberikan pelayanan terbaik kepada publik, makanya pemerintah harus melakukan reformasi di bidang penyelenggaraan administrasinya karena berbagai alasan. Baik arus globalisasi, buruknya pelayanan publik, kemajuan teknologi ataupun demokratisasi.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar